Duo Faisal Basri dan Chatib Basriadalah dua tokoh muda bidang ekonomi Indonesia yang tulisan-tulisannya senantiasa menjadi bacaan favorit banyak kalangan.Saya salah satu dari pembaca setia tulisan-tulisan itu. Banyak faktor yang menjadikan tulisan mereka saya sukai. Faktual, objektif,berbasis data, down to earth dan analisis yang tajam adalah beberapa faktor penentu yang membuat tulisan mereka enak dibaca. Di November dan Desember 2010 masing-masing Basri mengisi kolom ekonomi Kompas dengan tulisannya. Faisal Basri meneropong dualisme perekonomian sedangkan Chatib Basri mengurai keruwetan subsidi ekonomi. Tulisan ringkas ini berupaya memberi pertanyaan, komentar dan pengayaan atas pemikiran dua tokoh tersebut.
Faisal Basri : Dualisme Perekonomian
Dalam kolom ekonomi di Kompas, Faisal Basri (FB) mengatakan bahwa dalam perspektif ekonomi, RI sedang berada dalam dua posisi ekstrim. Disatu sisi berbagai indeks ekonomi seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lagi-lagi memecahkan rekor. Hal ini karena semakin besarnya gairah pasar uang. Pasar uang merupakan mata rantai ekonomi terpendek yaitu money makes money – uang menghasilkan uang.Juga dikatakan bahwa RI menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan yaitu dengan laju pertumbuhan diatas 5.5% untuk 2010 ini. Namun setelah dikupasnya lebih dalam ternyata pertumbuhan ekonomi itu dominan ditentukan oleh eksploitasi kekayaan alam berupa minyak, gas, batubara, kayu, ikan dan bahan galian. Secara tersirat FB mengatakan bahwa kita masih memerangkapkan diri pada perilaku dig, cut, catch dan export. Mata rantai ekonomi yang dianut sedikit lebih panjang yaitu uang, sektor hulu dari industri dan ekspor alias dapat uang. Ditambahkannya bahwa pertumbuhan ekonomi ini secara signifikan juga didorong oleh perilaku konsumsi dalam negeri baik untuk produk domestik maupun produk impor. Mata rantai ekonomi yang terkait adalah modal (uang), dagang, konsumsi dan dapat uang.
Di ekstrim satunya lagi, dikatakannya bahwa upaya mengembangkan sumber daya insani agar kekayaan alam kita mampu diubah menjadi sumber daya alam masih jauh dari kategori menggembirakan. Bahkan pertumbuhannya negatif katanya. Sepertinya FB ingin mengatakan bahwa belum ada kesungguhan dalam memperpanjang mata rantai ekonomi yaitu menuju mata rantai ekonomi yang mampu memberi nilai tambah terbesar. Sumber daya insani belum mau, belum mampu dan belum dikasih kesempatan untuk mengolah kekayaan alam menjadi sumber daya alam apalagi menjadi produk final (finished goods). Mata rantai lengkap itu adalah : modal (uang), sektor hulu (dig, cut, catch), sektor hilir (processing technology), ekspor antar pulau dan mancanegara untuk mendapatkan uang lebih banyak, membuka lapangan kerja dan menumbuh-suburkan ekonomi lokal.
Dalam tulisannya ini FB menggunakan istilah tradable untuk menjelaskan kekayaan alam yang laku dijual atau ekspor ke luar negeri. Jika kita cari di kamus maka akan ditemukan sebuah definisi -- A tradable good or service can be sold in another location distant from where it was produced. A good that is not tradable is called non-tradable. Sebuah bahan atau layanan itu disebut tradable (atau bisa diperjual belikan) jika bisa dijual di lokasi lain yang memiliki jarak dari lokasi dimana bahan atau layanan itu dihasilkan. Pertanyaan: Apakah definisi tradable yang khusus ekspor seperti yang digunakan FB ini berlaku umum dikalangan ekonom? Jika jawabannya ya maka semua bahan dan layanan yang dihasilkan dan dikonsumsi sebatas pasar domestik akan masuk kategori non-tradable. Melalui tulisannya ini FB menggugah sekaligus menantang kita untuk berjuang menyelaraskan pikiran, ucapan dan perbuatan dengan semangat Let’s Make The Non-Tradable Tradable !
Chatib Basri : Pengaturan BBM Bersubsidi yang Ruwet
Ada dua hal yang patut kita pikirkan sebagai implikasi dari usul CB agar pencabutan subsidi baham bakar minyak kategori bensin premium ini. Pertama, CB mengusulkan bahwa pencbutan subsidi premium itu direalisasikan melalui pembagian kupon pembelian premium bagi masyarakat miskin. Mari kita belajar dari konsep dan realisasi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Pemerintah selalu mengatakan bahwa semua program ini sukses dan tepat sasaran. Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat masih mempertanyakan keberhasilan yang dikumandangkan Pemerintah itu dan membuat pernyataan tandingan berbasis hasil survei dan kajian akademis. Dikatakan bahwa konsep dan gagasan-gagasan pengentasan rakyat dari kemiskinan itu bagus. Realisasinya yang membuat konsep bagus itu melenceng dari tujuan semula. Secara ekstrim bahkan ada yang mengatakan bahwa antara cita dan realitanya bak jauh panggang dari api. Partai Politik yang bukan the rulling parties mengatakan bahwa ide-ide yang notabene masuk tanggungan APBN itu adalah amunisi politik yang hanya menguntungkan the incumbent dan membuatnya semakin berjaya. This is unfair -- kata segelintir vokalis politik. Subsidi BBM itu keputusan politik dan bukan sekedar sebuah permainan ekonomi !
Hal kedua adalah lagi-lagi kita mejebakkan diri dalam upaya pemecahan masalah secara parsial. Dalam kasus ini adalah pencabutan subsidi BBM premium dan gunakan kupon untuk mengurangi derita masyarakat miskin. Ini serupa dengan fenomena memberi sebuah permen bagi anak kecil yang menangis karena jatuh dan kakinya terantuk batu. Mengapa tidak mengobati lukanya dan kemudian melatih sang anak agar lebih piawai dalam berjalan dan berlari sehingga mampu mengelak dan mengatasi berbagai rintangan. Tentu ini tidak mudah. Easier said than done ! Dalam mencari solusi yang paripurna wajib kita menengok dan mengkajinya secara simultan dari perspektif teknoekonomi dan perspektif sosiopolitik. Jangan pernah terjebak pada fenomena gaptek (gagap teknologi) dan gupsos (gugup sosial).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H