Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Telur Diujung Tanduk

12 Juni 2011   15:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Laga manusia (matador) dengan banteng adalah olahraga khas Spanyol. Walau asal muasal dari olahraga sekaligus pertunjukan ini adalah budaya Yunani dan berlanjut ke zaman kekaisaran Romawi yaitu mempersembahkan seeokor kerbau jantan pada kaisar. Kebiasaan ini kemudian mengalami evolusi menjadi olahraga khas pada jaman Kerajaan Spanyol yang dipimpin Raja Carlos III pada abad ke 18. Tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Spanyol jika tidak menyempatkan diri menyaksikan laga matador melawan banteng. Bagi segelintir orang, pertunjukan ini terlalu brutal dan bukan merupakan tontonan yang layak. Namun, laga manusia versus binatang ini menjadi olahraga macho sekaligus objek turis dan tentunya merupakan ajang bisnis dan judi. Bahkan dipandang sebagai salah satu pendorong tumbuhnya ekonomi lokal. Penonton menjadi hening saat mendengar pengumuman bahwa Puerta de los toriles yang tafsirnya adalah mengatakan banteng (toro) telah digelandang menuju pintu (puerta) arena. Tepukan riuh akan serentak terdengar saat sang matador (torero) memasuki arena laga. Sang Matador senantiasa berbekal pedang dan berpakaian gagah lengkap dengan selendang dua muka (satu muka berhiasa harminis dengan pakai sang matador dan muka lainnya berwarna merah yang dipercaya sebagai aktraktor bagi banteng). Banyak cerita nyata sampai cerita berbumbu bualan menjadi oleh-oleh saat kembali ke kampung. Foto yang terpampang sebagai penghias tulisan ringan ini selain menunjukkan foto yang seram, pilu terbayang rasa sakit namun sekaligus membuat kita tersenyum simpul. Ini arti harfiah dari pepatah yang sering kita gunakan ditanah air yaitu -- Bak telur diujung tanduk -- yaitu sebuah kiasan yang menggambarkan betapa situasi sedang dalam kritis mengingat telur yang berada diujung tanduk itu mudah sekali jauh tergantung pada dinamika tanduk sebagai penyangga telur. Salah satu cerita bualan tentang adalan tentang matador ini adalah menikmati makanan khas seusai menonton laga manusi vs banteng. Konon ada cafe yang menyediakan hidangan istimewa berupa sup panas berkuah pedas dan berisi satu torpedo (yaitu istilah Betawi untuk buah zakar atau biji banteng) dari banteng yang terbunuh oleh matador dalam laga. Mengingat jumlah torpedo sangat terbatas karena hanya dua ekor banteng dipertandingkan dalam satu laga maka antiran dan rebutan menjadi sangat seru. Keberuntungan menikmati sup torpedo ini seolah menjadi puncak dari menonton laga toro vs torero. Suatu ketika, ada orang kaya mendadak alias OKB dari negara antah berantah yang dengan kekuatan uangnya berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi menikmati sup torpedo kondang itu. Namun sang OKB terkejut dan langsung protes pada pelayan restoran karena torpedo yang ada dalam sup berukuran kecil sekali ketimbang ukuran torpedo banteng yang dia ketahui. Terjadilah adu mulut dengan inti : OKB “Hei mister, mengapa torpedo ini kecil sekali?” Pelayan “Apakah tadi tuan ikut nonton laga matador?” OKB, sambil tersinggung “Jangan menghina ya, saya ini orang kaya, untuk nonton saja saya beli 10 tiket, jangan sembarangan” Pelayan “Apakah nonton sampai selesai?” OKB “Iya, emangnya kenapa?” Pelayan “Tidakkah tuan lihat bahwa laga tadi dimenangkan oleh toro sedangkan sang torero terbunuh kena tanduk dan diinjak-injak banteng?” OKB sambil ngeloyor dan rasa jijik ... “Sialan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun