Masih teringat tentunya ramalan jitu sang gurita bernama Paul saat Piala Dunia Sepakbola di Afrika Selatan. Popularitas Paul tidak kalah dengan Vuvuzela yang berisik namun menjadikan Piala Dunia Afsel unik dan tidak terlupakan. Ramalan Paul menjadi buah bibir seantero dunia bukan hanya dikalangan pecandu sepakbola, penjudi bahkan ke masyarakat luas. Banyak yang suka, banyak yang marah, banyak yang gemas dan tidak kalah banyak kalangan yang menjadi penasaran untuk mengetahui fenomena apa sebenarnya yang terjadi sehingga ramalan Paul senantiasa menjadi perhatian dunia. Dengan kaca mata kuda ada yang menuding itu akal-akalan sang pawang dan pengasuh Paul dengan menempatkan makanan kesukaan Paul dibalik bendera negara yang dijagokan oleh sang pawang. Dengan demikian yang jitu meramal katanya adalah sang pawang dan Paul hanyalah instrumen belaka. Terlepas dari gonjang-ganjing itu, ada pula yang mencoba memberi penjelasan alias pembenaran dengan mengatakan bahwa Paul itu jenis gurita yang memiliki insting atau naluri yang tajam. Dengan ketekunan melatih yang dilakukan sang pawang, maka Paul menjadi tontotnan yang mengasyikkan menjelang penyelenggaraan pertandingan dan menjadi tontonan dunia. Naluri dan latihan yang menjadi dua kata kunci. Paul sudah berpulang , akankah muncul generasi baru sebagai pengganti dan penerus? Mbah Marijan merupakan sebuah fenomena di tanah-air tercinta, khususnya dalam isu penanggulangan bencana alam berupa letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Pendekatan iptek kegunungapian dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang khusus dibentuk untuk memantau kegiatan Merapi dengan prinsip 247 (24 jam dalam 7 hari) alias tidak sekejappun kegiatan Merapi yang luput dari pemantauan. Unit Pemerintah, cq Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini diberi nama Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) .Data dan informasi dari BPPTK ini dijadikan basis dalam kegiatan penanggunalangan bencana. Selain pendekatan iptek, pemantauan aktivitas Merapi serta penanggunalangan bencana juga banyak mengandalkan kearifan lokal yang pendekatannya holistik. Sultan Hamengku Buwono beserta abdi dalem banyak mempelajari metoda holistik ini. Dalam model yang disederhanakan maka pendekatan ini masuk kategori induksi yang berbasis pada kata titen (Bahasa Jawa seperti konsep inovasi : niteni, niroake dan nambahake yang dikenalkan Ki Hajar Dewantara dan RM Kartono). Misalnya: Menjelang meletusnya Merapi maka masyarakat sekitar Merapi akan banyak melihat binatang-binatang kecil sampai besar bergerak mengikuti naluri meninggalkan hutan-hutan yang berada di puncak Merapi dan menuju lereng. Inilah yang kemudian menjadi rahasia umum pertanda kegiatan Merapi semakin intens batuk, melontarkan lahar dan awan panas yang oleh masyarakat setempat dipopulerkan dengan istilah wedhus gembel sampai pada letusan dahsyat. Jika fauna bereaksi sesuai insting, lain dengan manusia. Insting sering tidak lagi murni melainkan banyak dipengaruhi oleh logika. Pengaruh itu bisa positif berupa harmonisasi namun bisa pula negatif dimana logika dan ego mendominasi dan mengalahkan naluri. Dari satu sudut pandang, kematian Mbah Marijan beserta sejumlah masyarakat yang "patuh" pada Mbah Marijan itu dapat dibilang akibat pembelajaran titen yang kemudian mengkristal menjadi naluri yang tidak cukup kaya. Ketidakcukupan ini akibat rentang waktu untuk belajar terlalu pendek bila dibanding dengan rentang waktu geologis dari dinamika kegunungapian Merapi. Perioda umur manusia (< 100 tahun) sementara rentang waktu fenomena kegunungapian adalah ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Fauna murni didorong insting sementara manusia adalah paduan naluri dengan logika. Namun demikian terlalu cupat jika menuding kematian Mbah Marijan akibat keteledoran. Biarlah ini menjadi sebuah misteri dimana nalar manusia atau iptek masih sangat minim untuk menguaknya. Kondisi sekarang ini masih menunjukkan adanya jurang pemisah antara pendekatan holistik dan kearifan lokal dengan nalar. Selamat jalan Mbah Marijan. Amal, budi baik serta suri tauladan Mbah kami doakan menjadi kendaraan menuju pangkuan Tuhan YME. Tanggal 28 Oktober setiap tahun menjadi hari yang istimewa bagi masyarakat Indonesia. Pada tanggal ini di tahun 1928 sekelompok pemuda pejuang membuat deklarasi yang menjadi tonggak sejarah. Dalam sketsa hitam-putih dapat kita lihat tekad pemuda agar Indonesia untuk memiliki hanya satu: tanah air, bangsa dan bahasa. Apa keserupaan para pemuda yang menggelorakan sumpah itu dengan fenomena gurita Paul dan Mbah Marijan? Ketiganya merupakan manifesto dari naluri. Para pemuda pejuang kala itu merasakan bahwa bibit-bibit perpecahan akibat ego dari kelompok bernuanasa suku, agama, ras, geografi dan sebagainya menuju pada pertumbuhan yang mengancam kesatuan Indonesia. Insting untuk bersatu yang menjadi daya dorong. Sumpah itu mandraguna, kini semangat bersatu tetap bergaung bahkan mengkristal menjadi pernyataan politik --- NKRI Harga Mati ! Namun demikian masih ada satu nilai luhur dari peristiwa sumpah pemuda itu yang sepertinya meluruh bersama waktu. Alih Generasi : Natural atau Keberpihakan? Ada kesan bahwa definisi pemuda diperlakukan seperti karet yang mudah ditarik dan diulur. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi masyarakat dengan nuansa kepemudaan tidak lagi dipimpin oleh pemuda, khususnya dalam ukuran umur. Banyak tokoh berusia >40 tahun dengan bangga memimpin organisasi kepemudaan. Pembenaran dilakukan dengan mengatakan bahwa muda itu jangan semata diukur dari usia namun juga dengan menggunakan indikator semangat. Umur boleh diatas 40 tahun namun semangatnya muda bak ABG. Sekali lagi ini adalah pembenaran. Bukan itu nilai luhur yang tersembunyi dalam Sumpah Pemuda. Muda yang muda usia bukan muda semangat. Alih generasi dari generasi tua ke generasi muda selalu menjadi gaung politik dalam setiap pesta politik : Pilpres, Pilgub dan Pilkada. Dan barangkali hanya Pileg (DPD dan DPR) saja yang seperti anomali dimana persentasi pemuda cukup siginifikan. Gema alih generasi itu hanya kencang terdengar saat kampanye, begitu terpilih maka hanya generasi tua yang tetap mengisi kursi-kursi kekuasaan. Jika prosesnya dibiarkan secara alami atau populer dengan istilah mekanisme pasar maka tentu akan kecil peluang untuk para pemuda ikut berkiprah dalam kancah legisltaif, eksekutif dan organisasi politik serta organisasi masyarakat. Fenomena serupa terjadi pada isu lelaki dan perempuan. Jika dibiarkan alam dan waktu yang menentukan maka porsi perempuan dalam posisi vital akan selalu kecil dan tidak siginifikan pengaruhnya. Naluri ikut berjuang yang kemudian menjadi kaum perempuan sedunia merapatkan barisan dan mengumandangkan slogan kesetaraan melalui pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Tidak sekedar mengikuti proses alam melainkan ada kebijakan sampai insentif keberpihakan. Keberhasilan perjuangan kaum perempuan layak menjadi preseden bagi para pemuda. Keberpihakan berupa pengarusutamaan pemuda (youth mainstreaming) layak diperjuangklan. 28 Oktober 2010 adalah momen emas untuk melakukan kick off !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H