Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sumber Energi Terbarukan - Digdaya Namun Tak Berdaya

5 Oktober 2010   06:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketergantungan kita akan sumber energi fosil masih saja terjadi walau semakin dirasakan berkurang kemampuan pasokannya untuk memenuhi kebutuhan kita akan energi baik untuk transportasi, industri sampai kantor dan rumah. Teorema Peak Oil sudah sering dilontarkan baik dalam kancah ilmiah, di tingkat Presidential Lecture sampai media populer. Ide, kajian kebijakan publik, rekayasa dan pengembangan teknoekonomi energi berbasis sumber terbarukan (renewable sources of energy) juga gencar diwartakan. Namun minyak, gas dan batubara yang notabene incumbent masih saja mencengkeram, membelengu dan membuat kita adiktif. Pantang menyerah tentu menjadi kiat kita untuk terus berupaya agar ketergantungan itu secara perlahan, bertahap dan pasti luruh bersama waktu. Pemerintah, cq Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beserta Dewan Energi Nasinal (DEN) telah meluncurkan Visi EBT 25/25 yang intinya mengatakan bahwa pada tahun 2025 nanti, Indonesia sudah mampu memasok kebutuhan energinya dari berbagai sumber energi yang terbarukan. Minimal 25% dari toal kebutuhan nasional. Visi EBT 25/25 ini diejawantahkan melalui kebijakan Bauran Energi 2025. Kebutuhan energi dari sumber terbarukan itu akan dihasilkan dari sumber-sumber panas bumi, potensi air sungai dan laut, sinar dan terik matahari, tiupan bayu serta flora dan fauna. Sedangkan ketetapan pemanfaatan potensi nuklir sebagai pemasok energi primer masih diambangkan sebagai wacana sosiopolitik. Pernyataan politik nasional yang sangat dinantikan, yaitu -- Indonesia,  Go Nuclear ! bak menanti Godot. Sekelompok pejuang atau artisan ET (ET = Energi terbarukan): akademisi dan praktisi berhimpun agar kekuatan berupa lidi berserakan dapat bersatu kemudian membentuk sebuah wadah bernama Masyarakat Energi terbarukan Indoneisa (METI). Selain sebagai wadah untuk berbagi ide, pengetahuan dan pengalaman, METI juga mengemban misi sebagai mitra Pemerintah dalam pengupayaan sumber energi terbarukan. Paduan METI dengan Pemerintah meembentuk The Triple Helix ABG (Academics, Business, Government). Meneruskan misi perjuangan METI beberapa anggotanya mengambil inisiatif menerbitkan majalah dengan fokus energi dengan sumber terbarukan. Majalah ini diberi nama RESPECTS, The Clean and Renewable Energy Review dan telah dua edisi yang diterbitkan seluruhnya dalam bahasa Inggris. Beberapa tulisan saya di Kompasiana seputar sumber energi terbarukan telah menarik perhatian Pimpinan RESPECTS dan meminta untuk menulis ulang dengan kriteria: Bahasa Inggris, ringkas dan berwujud opini. Making The Non-tradable Tradabel Opini dalam edisi perdana RESPECTS mengulas dengan ringkas ketersediaan sumber ernergi terbarukan di tanah air. Namun berlimpahnya sumber energi itu belum dimanfaatkan dengan baik. Lebih banyak alasan atau kambing hitam yang diungkapkan ketimbang upaya pemberdayaannya. Sulit, lama dan mahal adalam kata-kata yang sering dipakai sebagai kambing hitam kala membandingkan ET dengan sumber fosil (minyak, gas dan batubara). Akibatnya sumber-sumber ET itu tetap berstatus non-tradable. Opini ini mengutarakan potensi ET bagi Indonesia dari persepktif teknologi, sosial, ekonomi dan politik. Prospects and Pitfalls for Biofuel. Gerakan Nasional untuk memposisikan bahan bakar nabati (BBN) sebagai komplemen dari bahan bakar minyak (BBM) telah digulirkan. Inisiasinya dilakukan di sebuah resor di Jawa Tengah ini dikenal dengan The Losari Retreat. Namun gerakan ini bernuansa panas-panas tahi ayam. Sampai sekarang popularitas B-5 dan B-10 atau nama komersial Biosolar (istilah untuk pengoplosan 5 atau 10 persen biodiesel dalam minyak solar) begitu pula E-5 dan E-10 (yaitu pengoplosan 5 dan 10 persen etanol dalam bensin) masih jauh dari puncak anak tangga. Opini dalam edisi kedua RESPECTS mengupas peluang serta jebakan atau penghalang komersialisasi BBN.

RESPECTS -- Clean and renewable Energy Review.  Editor@respectsmagazine.com, http://www.respectsmagazine.com dan ISSN 2086-9851

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun