Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cerpen -- Membuat Robot Punya Hati

28 Juni 2010   04:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:14 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita Pendek (Cerpen) sudah menjadi sebuah istilah yang khas Indonesia. Cerpen merupakan sebuah cerita yang ditulis oleh pengarangnya baik berasal dari kejadian nyata, mimpi atau murni khayalan sang penulis. Cerpen berbeda dari tulisan reportase, jurnalistik ataupun tulisan ilmiah populer mengingat cerpen lebih mengarah pada pengungkapan rasa atau imajinasi penulis kedalam untaian kata dan kemudian berupaya mengajak pembaca untuk memahami rasa dan khayalan sang penulis. Cerpen memiliki keserupaan dengan karya seni lain seperti puisi, lukisan dan patung. Namun demikian cerpen tidak sepenuhnya karya seni karena dalam mengungkap cita rasa kedalam untaian kata ada alur cerita yang mengalir dan logis. Cerpen merupakan manifesto hibrida cita rasa dengan logika. Dalam sebuah cerpen terjadi harmonisasi cipta, rasa dan karsa. Para ahli anatomi tubuh manusia dan ahli psikologi sering mengatakan bahwa cita rasa atau seni itu hasil olahan otak bagian kanan sedangkan berfikir logis adalah unjuk kerja otak bagian kiri. Walau setiap insan mendapat anugerah memiliki keduanya -- otak kanan dan otak kiri namun setiap orang dilahirkan berbeda. Ada yang lebih menonjol kemampuan unjuk kerja otak kiri dengan nalar yang kuat, misalnya para ilmuwan dan perekayasa, dan ada pula yang lebih unggul cita rasanya sesuai kekuatan otak kanan, sebut misalnya para pelukis, penghasil puisi dan pematung. Tentu ada pula yang berimbang kemampuan berfikir logis dengan cita rasa. Gaptek vs Gupsos Dalam percakapan sehari-hari sering kita mendengar istilah gaptek (gagap teknologi) manakala seseorang dipandang atau mengaku tidak mengikuti perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi. Mereka yang menyadari gaptek akan dengan mudah mengejar ketertinggalannya walau hanya sementara karena teknologi berkembang sangat pesat melebihi kemampuan beradaptasi. Ini dialami oleh generasi yang lebih dahulu lahir misalnya generasi rambut uban (silver generation) dan generasi ledakan-bayi (baby boomers). Gaptek nyaris tidak menjangkit dikalangan pribumi-dijital (digital natives). Begitu pula bagi kaum yang dipandang arogan dengan kacamata-kuda iptek yang sering melupakan pentingnya menengok penerapan iptek dari perspektif sosial dan lingkungan. Istilah gupsos (gugup sosial) kemudian ditudingkan pada para kaum kacamata-kuda itu. Tengok ulasannya di situsini. Fenomena gaptek dan gupsos ini bak api dalam sekam dalam pertentangan antara kaum yang hidup didunia iptek dengan elitis sosial. Seorang tokoh yang memiliki kemampuan berimbang mengingat kariernya sebagai ilmuwan (scientist) dan kepiawaiannnya mengolah rasa dan karsa menguntai kata sebagai penulis cerita (novelist) telah lama mengungkap keprihatiannya akan benturan ini. Tokoh itu adalah CP Snow yang menyampaikan pidatonya dipertengahan abad 19 di Parlemen Inggris. Naskah pidato ini yang kemudian menjadi buku laris manis penuai pro dan kontra yaitu The Two Cultures and The Scientific Revolutions. Isu cultural milieu ini juga menjadi perhatian banyak ilmuwan dan sosiolog seperti Brian Arthur dalam bukunya The Nature of Technology, Dan Bruiger dalam bukunya Second Nature, Michael Crichton dalam buku-buku laris manis seperti State of Fear dan Jurasic Park dan tentunya tak lupa pesan melalui film komedi God Must Be Crazy. Begitu pula ilmuwan anak negeri yang peduli akan pentingnya harmonisasi iptek dengan sosial dan lingkungan, diantaranyaSaswinadi Sasmojo dalam buku “Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan” dan Sonny Yuliar dalam buku-teks “Tata Kelola Teknologi”. Banyak tokoh-tokoh peneliti dan pemerhati sosioteknologi yang juga mencurahkan perhatiannya, diantaranya Gus Mus, May-ling Oey-Gardiner, The Kian Wee, Aristides Katoppo, M Ary Pedju, Romo Mudji. Mari sama-sama kita sadari dan pahami agar janganlah perbedaan persepsi dan jurang pemisah antara pemikiran dan persepsi ilmuwan dan kaum humanis menimbulkan pertentangan dan pertikaian. Perbedaan musti diambil sebagai pemersatu dan pemerkaya khasanah. Mari gaptek dan gupsos itu sama-sama kita tangani dan hilangkan. Jadikan robot memiliki hati seperti divisulisasikan dengan cantik dalam film box-office -- Avatar Cerpen -- Pengisi Jurang Pemisah Sebuah mimpi sebagai warga kampus yang syarat teknologi adalah keinginan kuat mewujudkan  budaya dikalangan warga kampus khususnya para mahasiswa agar sebelum mereka lulus mereka membaca buku-buku yang sama sekali jauh dari bidang studi yang ditekuninya. Mahasiswa dengan program studi sains dan rekayasa menyempatkan melahap buku-buku karya sastra seperti Shakespeare, Pramoedya Ananta Toer bahkan buku laris manis Herry Potter.  Begitu pula sebaliknya mahasiswa yang menekuni program studi seni dan humaniora menamatkan buku-buku iptek populer seperti buku-buku best-sellers yang ditulis Carl Sagan, Roger Davis dan Michael Crichton. Budaya ini tentu akan menjadi pengisi atau pemersempit jurang antara iptek dengan ilmu sosial. Kejadian fenomena gaptek dan gupsos akan terhndari. Cerpen, khususnya cerpen yang terbit setiap Minggu di Kompas adalah karya seni dan sastra yang kadarnya tidak tergolong kelas berat. Lebih mudah dimengerti alur ceritanya dan dalam membacanya apalagi jika dalam membaca tersebut ada niat kuat untuk menekuninya hingga tamat maka kata, kalimat dan paragraf dalam cerpen akan mampu mengundang rasa atau emosi seperti harapan sang penulis cerpen. Saat membaca kata dan kalimat kita membanyangkan dinamika yang diproyeksikan dalam adegan tesebut. Daya imajinasi sang pembaca akan meperkuat citra yang diproyeksikan sang penulis baik melalui pemilihan tokoh maupun isu kontroversi atau koflik perasaan yang dituturkan. Sering kita ikut geram, marah, sedih, menangis, senyum bahkan tertawa terbahak saat membaca. Tidak jarang sesudah tamat membaca sebuah cerpen, rasa yang terbangun masih mengalir dalam raga untuk beberapa saat bahkan hari dan minggu. Masih terbayang konflik yang dicetuskan dalam cerpen serta emosi dari lakon dalam cerpen tersebut. Ini pertanda sang robot mulai memiliki perasaan (hati). *) Tulisan populer ringkas ini adalah penggalan dari kata pengantar dalam buku Cerpen Terpilih 2009, Kompas yang akan diluncurkan Senin 28 Juni 2010 malam. **) Cerpen (short story) yang diulas dalam tulisan ini sering juga kita kenal dengan istilah esai (essay) atau prosa (prose). Ketiga kata ini memiliki makna serupa walaupun jika ditelusuri artinya dengan lebih mendalam masing-masing memiliki perbedaan satu dengan lainnya. ***) Gambar diatas adalah contoh esai yang diakui sebagai versi terdini yaitu di-abad 18.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun