Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ilmuwan - Anak Teka dan Kuper

2 Juni 2010   13:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Science is fun. Finding new things is fun. I've just had a good time all my life. And I encourage you to think about things, explore things, find new things. It's great fun" Charles H. Townes

Kalimat diatas adalah cuplikan dari wawancara dengan penemu (inventor) teknologi canggih LASER (Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) yang penggunaannya sangat luas mulai dari alat ukur super presisi, operasi organ tubuh yang super sensitif, pemotong baja super keras sampai lampu-lampu eksotik penyemarak diskotek. Seperti pengakuan sang penemu, saat awal pengembangan laser, iya hanya asyik saja di laboratorium dan perpustakaan tanpa mampu mengkomunikasikan dan meyakinkan para pelaku ekonomi dan politikus tentang manfaat hasil temuannya. Butuh waktu 50 tahun untuk temuan hebat itu terasa manfaatnya untuk kesehatan, industri dan hiburan. Kini laser menjadi bisnis berskala triliunan rupiah. Ini contoh spesifik bagaimana ilmuwan itu bak anak taman kanak-kanak (Teka) yang asyik bermain dari sejak datang di sekolah sampai tiba saat dijemput pulang dan ingin segera kembali ke sekolah esok harinya, dan begitu seterusnya. Temuan akan cepat masuk ke pasar hanya jika terjadi harmonisasi ABG (Academics, Business & Government). Jika diteropong dari pentingnya komunikasi dikalangan ABG dan jika dibandingkan kemauan dan kemampuan komunikasi diantara ketiga komponen A, B dan G maka nyaris semua kita sepakat bahwa masyarakat A yang paling perlu dibantu untuk dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan grup B dan kelompok G, dan tentunya dengan lingkungan dan masyarakat luas. Jika tidak maka para ilmuwan itu akan terus terperangkap dalam status kuper (kurang pergaulan). Banyak upaya kaum ilmuwan untuk berkomunikasi. Banyak yang sukses namun banyak juga yang kandas. Contoh-contoh berikut menggambarkan bagaimana mereka berupaya namun karena berbagai keterbatasan malah menjadi cerita pengundang senyum simpul. Cerita dibawah ini dipoles sana-sini agar lebih mengena dan bersenyawa dengan judul artikel ini. Jakarta-Bandung -- Kereta Api Dual-Track Menurut cerita mulut-ke-mulut, Presiden pernah memanggil para pembantunya (termasuk Menteri-T). Pemanggilan ini berkaitan dengan proposal peningkatan kapasitas anggkutan kereta api Bandung - Jakarta pulang-pergi. Proposal ini diajukan untuk dapat izin prinsip dari Presiden dan waktu penyampaiannya jauh mendahului proposal pembangunan jalan bebas hambatan (toll) Cileunyi-Bandung-Purwakarta-Cikampek-Jakarta. Presiden meminta para pembantunya untuk mengkaji ulang dengan menengok aspek sosiopolitk dan teknoekonominya lebih seksama. Para pembantu manggut-manggut penuh arti. Setiba dikantornya, Menteri-T megumpulkan staf ahlinya. Berikut cuplikan perbincangan antara Menteri-T dan para staf ahlinya: Menteri-T “Bagaimana upaya meningkatkan infrastruktur transportasi Jakarta-Bandung?” Ahli Transportasi Kereta Api “Begini Menteri yth, banyak cara dapat ditempuh. Salah satunya adalah membangun jalur kereta api dual-track Menteri-T “Apa maksud Saudara dengan dual-track? Bukankah semua jalur kereta api itu berupa dua buah rel yang dibangun paralel alias dual track?” Sataf Ahli “????” Sambil menoleh ke para staf ahli lain sebagai pertanda agar turut memberi tanggapan. Para staf ahli jadi gugup dan bingung serta tak mau membuat Menterinya terkesan bodoh karena tak paham akan teknologi transportasi kereta api kemudian sambil terbata berkata singkat “Betul Mister Minister, kami akan kaji ulang proposal tersebut dengan sungguh-sungguh”. Kejadian ini yang jadi biang-kerok tak berlanjutnya proposal tersebut. Sekiranya proposal pembangunan jalur kereta api dual-track tersebut jadi diajukan, disetujui dan dituntaskan, niscaya kereta api Parahiangan yang legendaris itu tak akan ditutup dan mati akibat tak mampu bersaing dengan travel yang mengambil keuntungan dari jalan bebas hambatan Bandung - Jakarta. PLTN Itu Aman PLTN (Pembangkit Listrik tenaga Nuklir) ini sudah menjadi perhatian Indonesia sejak Presiden Soekarno membentuk tim khusus yang mempelajari atom dan potensi dampak negatif jika bom atom nyasar dan jatuh di wilayah Nusantara. Sejak awal 70an, PLTN menjadi isu strategis nasional. Saat awal perkembangannya dengan kepemimpian kuat dan visi Presiden Soekarno, Indonesia banyak mengalami kemajuan dalam penguasaan iptek nuklir. Namun kemudian lari kencang bak kijang itu berubah menjadi gerak lambat siput akibat terhalang kekuatan sosiopolitik yang lebih fokus pada pencarian popularitas jangka pendek ketimbang visi jangka panjang pengupayaan kemandirian, kedigdayaan dan kesejahteraan rakyat. Selain itu tak kalah pentingnya, kaum iptek nir-daya (powerless) dalam membangun kekuatan rakyat (people power) untuk mendorong pembangunan PLTN. Berikut ilustrasi sosialisasi yang pernah terjadi. Menteri-R “Para sesepuh, kiyai, petinggi pemda, tokoh masyarakat, santri dan para pelajar, PLTN itu tak musti menjadi momok menakutkan. Teknologinya sangat aman. Lebih banyak orang meninggal akibat kejatuhan kelapa ketimbang akibat kecelakaan PLTN.”. Kiyai “Pak Menteri, jika memang PLTN itu aman. Mengapa diusulkan dibangun di pulau kecil kami ini? Bangun saja ditengah kota Jakarta. Lapangan Monas itu besar ‘kan?” Menteri-P “????” Diam seribu bahasa alias knock out dan kagum akan pengetahuan luas sang Kiyai karena ini sejatinya tantangan sosial yang menjadi perhatian dunia dalam pembangunan PLN, yaitu NIMBY (not in my back yard). Manggis Tanpa Biji Para peneliti pemulia buah-buah tropis yang khas Nusantara banyak mendapat peluang dan dukungan melakukan penelitian karena buah-buah tropis menjadi tema riset strategis. Jjerih-payah para peneliti itu sukses menghasilkan varietas baru manggis yang tumbuh cepat, berbuah banyak, berair, manis dan nyaris tak berbiji. Kita mengenal dan menyukai manggis bukan hanya sebagai buah lezat pelepas dahaga dan penyempurna makan siang dan makan malam, bahkan juga untuk mainan terka-terkaan jumlah biji atau segmen manggis. Salah satu faktor pengganjal yang menjadikan manggis ini tak sempurna adalah karena seringnya ukuran biji yang besar mengalahkan daging manggis yang lezat itu. Itu sebabnya menghasilkan manggis nir-biji dipandang berpotensi sebagai sebuah mahakarya. Dilakukannlah promosi dan sosialisasi gencar. Berikut salah satu cuplikan perbincangan antara salah seorang promotor manggis dengan seorang peserta program sosialisasi manggis yang merupakan acara tambahan dalam sebuah acara Ibu-Ibu Petani dan Pedagang Buah. KK “Manggis Tanpa Biji ini bukan hanya sudah lolos dari sederetan uji di kebun percobaan dan mendapat sertifikasi layak tanam, namun juga sudah mulai ditanam secara komersial. Silahkan Ibu-Ibu kunjungi pameran kecil yang menunjukkan bibit dan buah manggis. Jangan lupa mencicipinya. Ada pertanyaan“. Ibu-D “Bapak, saya pesimis buah manggis tak berbiji ini akan laku dipasaran” KK sambil kaget dan terkejut bak kena sentrum “Mengapa demikian Bu?” Ibu-D “Kura-kura dalam perahu. Bapak pasti pura-pura lupa bahwa asyiknya manggis itu kala ngemut bijinya” KK “????” tertunduk sambil senyum tersipu malu. Pesan Umum -- Ilmuwan itu kampiun dan nyaman disangkarnya bahkan saking asyiknya mereka dengan kegiatan akademiknya, mereka seolah anti-sosial dan akibatnya sering kita umpamakan mereka sebagai kutu buku yang ditafsirkan dari kata nerd. Mari ajak dan bantu agar mereka ikut dalam harmonisasi The Triple Helix, ABG. Tanpa itu, mereka akan terperangkap dan tetap hidup nyaman di Menara Gading dan tidak kalah pentingnya, hasil riset mereka musti menelusuri jalan panjang dan berliku untuk bisa sampai ke pasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun