"There is a sufficiency in the world for man's need, but not for man's greed" Mohandas K. Gandhi Mesin diesel pasti kita semua kenal. Baik mesin diesel itu digunakan untuk menghasilkan listrik dengan istilah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), penggerak utama kapal laut mulai dari kapal penumpang, kapal kargo sampai kapal perang, penarik gerbong kereta api sebagai lokomotif, mesin-mesin pertanian sampai mobil yang seliweran dijalan raya dan jalan perintis. Nama diesel diberikan pada jenis mesin ini sebagai penghormatan pada sang inventor Rudolf Diesel. Selain sebagai insinyur mesin ternama, Rudolf Diesel juga seorang pejuang sosial bukan dalam artian sebagai penyebar aliran sosialis melainkan lebih kepada perjuangan yang lebih terbuka dan adil melawan dominasi dan cengkeraman kaum kapitalis. Salah satu dampak dari revolusi industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap (steam engines) adalah bermunculannya kaum kapitalis yang nyaris memonopoli industri manufaktur dan proses. Akibatnya kaum artisan (Catatan. Kata artisan berasal dari kata artigiano dalam Bahasa Italy yaitu istilah yang diberikan untuk menyebut orang-orang berbakat, terlatih dan memiliki spirit besar dalam inovasi teknologi) yang berjuang sendiri atau kelompok kecil dan bersifat independen serta peduli akan nasib orang banyak. Mereka terkendala dalam mempromosikan dan mengkomersialkan temuan-temuannya. Melalui invensi mesin diesel ini yang tidak harus berskala besar dan tidak harus terikat pada ketersediaan bahan bakar khususnya bahan bakar yang berasal dari sumber energi fosil. Hasil inovasinya ini luarbiasa, selain dapat berskala kecil, memiliki efisiensi tinggi sehingga kompetitif melawan mesin uap berskala gigantis dan memiliki risiko lebih kecil dari sudut pandang keamanan dan keselamatan saat dioperasikan, mesin diesel juga dirancang untuk berbahan bakar dari sumber-sumber yang ada disekitar kita seperti bahan bakar yang bersumber pada lemak hewani (binatang dan ikan) dan juga dari nabati (tumbuhan dan tanaman). Bahan bakar nabati sengaja dipilih oleh sang penemu karena selain tersedia dan mudah diperoleh kaum kebanyakan juga memiliki keunggulan lain yaitu tidak mencemari lingkungan alias ecofriendly. Mesin diesel sangat sukses namun kesberhasilan ini tidak seperti mimpi yang diperjuangkan sang inventor, Rudolf Diesel. Mengapa? Kini dengan mudah kita temui berbagai ukuran dan bentuk mesin diesel. Skala besar untuk transportasi dan industri sampai skala kecil untuk daerah terpencil didarat mapun dilaut namun nyaris jika tidak dikatakan semua mesin diesel ini kini berbahan bakar yang bersumber pada sumber energi fosil -- yaitu minyak solar. Selain itu mesin diesel menjadi salah satu komoditi yang dimonopoli kaum kapitalis. Sebagai inovasi teknologi, mesin diesel ini sangat sukses namun dari perjuangan sosial, mesin diesel tidak berhasil dijadikan sebagai amunisi perjuangan pemerataan kesejahteraan yang berkeadilan dan cinta ligkungan. Kemapanan kaum kapitalis serta isu murah dan mudah yang ditawarkan bahan bakar yang bersumber dari fosil ditambah dengan ketidak pedulian pada lestarinya lingkungan adalah incumbent yang tak tergoyahkan. Bahan Bakar Nabati -- Disenangi Tapi Belum Disukai Salah satu potensi kekayaan alam yang kita miliki adalah tumbuhan dan tanaman (Catatan. Tanaman (crop) adalah sub-set dari tumbuhan (plant) yaitu yang sudah dipilih dan dipilah serta dibudidayakan agar hasil panennya memberi manfaat yang jauh lebih besar. Padi, tebu, jagung, kelapa, sawit, bayam, angrek bulan, bunga mawar, pepaya, terung-belanda dan jati adalah jenis tanaman. Sedangkan beringin, ki-hujan, benalu dan bakau adalah contoh tumbuhan). Bukan hanya kulit, biji, daun, akar dan buah yang memberi manfaat bagi kebutuhan pangan dan papan, tumbuhan dan tanaman juga berpotensi memberi kita kecukupan akan bahan bakar baik untuk industri, transportasi dan kebutuhan masak-memasak dirumah. Bahan bakar dari tumbuhan dan tanaman ini yang kemudian kita populerkan sebagai bahan bakar nabati dengan beragam istilah teknik seperti biomass, biogas, biofuel, biodiesel dan bioethanol plus istilah-istilah yang berupa varian dari istilah dasar tersebut. Banyak kajian yang optimis menunjukkan kekayaan yang mendukung pemberian emblim Zamrud Khatulistiwa bagi Indonesia. Dari berbagai sumber paparan dan diskusi, mari sama-sama kita tengok potensi seperti yang digambarkan dibawah ini. ABG (Academics, Business & Government) kompak dan berkumpul di Kebun Kopi Losari, JawaTengah di pertengahan tahun 2006 untuk melakukan harmonisasi pandangan dan pikiran dan menyusun jurus-jurus pamungkas dalam menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam pasokan sumber energi bahan bakar nabati, sepakat untuk napak-tilas keberhasilan bangsa samba -- Brasil dan sekaligus sebagai bagian dari konsistensi RI dalam perjuangan melawan Perubahan Iklim dan Pemanasan Global seperti dikumandangkan dengan gagah sebagai bali Road Map saat menjadi tuan rumah United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Desember 2007. Enam Inisiatif yang dikristalkan melalui Losari Biomass Retreat tersebut adalah: 1. Sosialisasi, Edukasi dan Insentif Riset 2. Pembeli Strategis : Pertamina dan PLN 3. Pembiayaan Bank Plat-merah : BRI, BNI dan Mandiri 4. Pengembangan Teknologi dan Infrastruktur Pendukung 5. Penyediaan Lahan dan Akses 6. Budidaya serta cocok-tanam : Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Lengkap sekali sepertinya cakupan dari keenam inisiatif diatas. Banyak upaya, kegiatan dan anggaran dibelanjakan untuk merealisasikan keenam inisiatif tersebut dan masih besar harapan untuk keberhasilannya. Apalagi keenam inisiatif itu sejalan dengan semangat perjuangan KIB 2004-2009 yaitu pro-growth (mendukung pertumbuhan ekonomi), pro-job (pembukaan lapangan kerja baru) dan pro-poor (pengentasan rakyat dari perangkap kemiskinan). Namun demikian, belakangan semakin jarang kita lihat isu, tantangan dan kemajuan perjuangan BBN ini menghiasi rubrik media : koran, majalah, televisi sampai radio. Tak ada lagi tajuk rencana yang mengigit dan menyentil BBN, semakin jarang ada opini bernas seputar BBN, langka berita seputar sukses BBN, memudar gema talk-show di televisi, radio, kampus dan temu-bisnis serta nyaris BBN hilang sebagai ladang perburuan LSM dan ormas. Satu kealpaan nasional kita lakukan yaitu tidak memperhitungkan kekuatan incumbent yang menghadang baik yang tampil formal terstruktur maupun nir-wujud atau mafia kita sering menyebutnya. Pemain minyakbumi, gas dan batubara yang notabene adalah kaum kapitalis yang mendominasi ekonomi RI baru pada tahap mengatakan senang (Its nice to have it -- sering terlontar sebagai ucapan basa-basi beraksen kebarat-baratan) akan BBN namun belum lagi masuk pada tahap menyukainya sebagai komoditas yang menjanjikan untung-beliung yang berkelanjutan. Disisi lain kaum artisan masih memilih sebagai batang lidi berserakan ketimbang rempug menjadi arsenal sapu lidi.
“Never, never, never .. ever .. give up !” Winston Churchill
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H