Dalam buku “Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung” karya Erwiza Erman, 2009 ada sebuah kalimat menarik yang diucapkan Sultan Mahmud Badaruddin yaitu I too have a kind of war with the VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) but my war is quite different: I bombarded the VOC with pepper and tin, and the VOC bombards me with good Spanish coin -- Saya juga berperng melawan VOC, perang saya ini sangat beda yaitu saya gempur VOC menggunakan lada dan timah, VOC kemudian membalas dengan pengiriman uang-logam Spanyol yang berharga -- Begitu laporan seorang pejabat VOC di Palembang Patavicini tahun 1755 ke markas VOC Batavia. Kalimat itu mengambarkan bagaimana dua komoditas andalan Bangka dijadikan Sultan untuk memperoleh devisa bagi Kesultanannya. [caption id="attachment_88157" align="alignnone" width="300" caption="Lada : Hitam dan Putih"][/caption] Lada yang dimaksud adalah lada putih (white pepper atau piper nigrum) atau sahang menurut istilah masayarakat Bangka. Lada putih dan lada hitam sebetulnya berasal dari tumbuhan yang sama. Cara mengolahnya saja yang membedakan lada hitam dengan lada putih. Lada hitam dihasilkan jika buah lada dipetik sebelum matang kemudian dikeringkan yang biasanya mengunakan terik matahari sampai warnanya hitam. Sesudah itu buah lada direndam dalam air sampai kulitnya mudah terkelupas. Sedangkan lada putih hanya dipetik sampai buah lada matang dipohon. Sesudah itu dicuci menggunakan air mengalir. Lada putih menjadi komoditas utama bagi pulau Bangka dan penghasil devisa dari mengekspor ke pasar Nusantara dan mancanegara. lada putih pula yang menjadikan Muntok, Bangka terkenal sedunia yaitu Muntok White Pepper. Ratusan tahun lada putih menjadi andalan petani dan pemerintah lokal Bangka khususnya diwilayah Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Menurut para petani, tetua dan juga artikel-artikel seputar lada putih ini dapat kita pahami bahwa lada putih mulanya merupakan tanaman yang banyak dengan sengaja ditanam dikawasan tanggul (phok menurut istilah masyarakat penambang timah) atau tanah bekas galian pasir timah. Adalah para kuli tambang pasir timah yang mengambil inisiatif menanam pohon lada. Para kuli ini pada awal dimulainya penambangan pasir timah ini kebanyakan didatangkan dari daratan Tiongkok, khususnya bangsa khek yang diimpor oleh pemerintah Belanda yang berkuasa berdasarkan sistem kongsi. Bangsa khek ini dikenal sebagai kaum pekerja keras dan tekun berbeda dengan bangsa hokian dan mandarin yang walau sama-sama dari Tiongkok lebih mengantungkan hidup dari berdagang. [caption id="attachment_88164" align="alignnone" width="300" caption="Buah-buah Khas Bangka"][/caption] Namun kini nasib sahang tidak lagi bersinar seperti masa kejayaannya. Jalan pintas menjadi kaya dengan menjadi penambang pasir timah menjadi fatamorgana. Penambangan pasit timah nyaris menghapuskan ladang-ladang lada putih dari dataran Bangka. Penambangan pasir timah menjadi semakin menjadi tsunami bagi lada putih dengan adanya otonomi daerah dimana izin penambangan timah tidak lagi menjadi otoritas pemerintah pusat. Perlombaan memperbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) plus pilkada yang konsumtif yang diperkuat oleh wabah KKN dituding menjadi penjungkit (booster) pengrusakan lingkungan -- ecocide. Ilmuwan besar, Stephen Hawking pernah berujar -- Saya tidak mengkhawatirkan nasib alam semesta. Saya sangat kuatir akan kualitas kehidupan manusia di planet bumi ini. Pengrusakan terjadi terus akibat keserakahan dan kebodohan umat manusia dalam mengeksploitasi alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H