Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Brain Drain – Jangan Terkecoh !

2 Agustus 2009   14:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:52 3267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat film komedi berjudul The God Must Be Crazy dengan bintang kocak Xixo di tahun 1980? Xixo digambarkan sebagai kepala suku yang tinggal disebuah kawasan antah berantah yang jauh dari jamahan teknologi. Dalam bahasa gaul Xixo cs ini kita bilang gaptek. Alkisah, sebuah botol CocaCola jatuh dari dari langit dan mendarat diperkampungan Xixo dkk. Botol ini digambarkan sebagai artefak teknologi yang bikin heboh kehidupan Xixo dan warganya.

Jika botol CocaCola itu kita misalkan internet maka kebanyakan dari kita juga bernasib seperti Xixo dan saudara-saudaranya. Sebagian langsung asyik bermain dan belajar serta menerima internet bak rejeki jatuh dari langit. Sebagian lagi sibuk membangun berbagai bentuk penghalang (firewall) karena ketakutan akan dampak negatif yang ikut bersama internet. Ada sekelompok insan yang dengan cerdas dan bijak melakukan pendampingan agar hanya manfaat saja yang diperoleh dari internet. Tapi ada pula yang membabi buta menempelken semua emblim negatif pada internet bahkan ada pula yang mengambil langkah ekstrim membabi-buta dengan ide fatwa haram. Lupa bahwa teknologi senantiasa bersifat dialektik bagaikan pisau bermata dua.

Kini internet sudah menjadi kata baku yang termuat dalam semua kamus. Kamus-kamus bahasa Inggris – MacQuarry, Oxford dan Webster memberi penjelasan rinci tentang internet. Begitu pula dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Idem ditto Wikipedia. Internet adalah sebuah kata yang dibentuk dari penggalan beberapa kata yaitu interconnected computer networks. Kata network (atau jejaring) senantiasa berasosiasi dengan telekomunikasi. Jadi, internet itu memiliki dua komponen utama yaitu telekomunikasi dan komputer.

Internet adalah hasil nyata dari brain drain

Sekiranya dua intelektual yaitu Graham Bell dan John von Neuman tidak hijrah ke USA maka mustahil internet akan hadir dan menjadi bagian dari keseharian kita. USA yang kondusif bagi inovasi teknologi telah menjadi magnit kuat yang menarik kaum intelektual dari seluruh pelosok dunia untuk hijrah dan berkarier serta berkarya menghasilkan mahakarya teknologi. Hijrah oleh kaum intelektual ini yang kemudian dikategorikan sebagai fenomena brain drain.

Graham Bell, dilahirkan di Glasgow, Scotlandadalah intelektual berbakat dan inovatif yang hijrah ke USA. Pada usia 29 tahun tepatnya pada tahun 1876, Graham Bell menciptakan tilpun yang menjadi cikal bakal dari teknologi telekomunikasi. Sedangkan John von Nueman yang lahir tahun 1903 di Budapest, Hongaria adalah anak muda ahli matematika penemu teknik pengelolaan data yang kemudian terkenal dengan istilah The Von Neuman Architecture. Ini yang menjadi basis dari teknologi komputasi dalam setiap komputer yang kita kenal dan gunakan sampai hari ini. Seperti Graham Bell, John von Neuman juga masuk dalam klasifikasi fenomena brain drain, khususnya ke USA.

Internet yang tumbuh-kembangnya dipicu oleh dua brain-drainers Bell dan Von Neuman ini memang awalnya hanya dinikmati oleh segelintir penduduk dunia yaitu The Yankees namun kini internet sudah diakui sebagai milik dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari penduduk dunia. Akankah kita latah ikut menuding bahwa brain drain itu negatif dan bertentangan dengan semangat nasionalis? Tentu tidak !

Globalisasi dan Brain Drain -- Dua Sisi Mata Uang

Globalisasi yang datang bagaikan tsunami itu kini telah melanda seantero dunia. Bahkan tidak ada satupun bagian dari dunia ini yang tidak terkena dampaknya. Dengan globalisasi ini dunia telah dipandang sebagai dataran yang rata. Itu kata Thomas Friedman dalam buku laris manis – The World is Flat. Tanpa globalisasi, Nelson Mandela tidak akan pernah berpakaian batik nyaris setiap hari. Niscaya tidak akan kita temukan Waroeng si Doel di Mekkah. Tidak juga akan kita dengar lantunan lagu syahdu Bengawan Solo di sentra-sentra karaoke, Jepang. Tidak akan pula kita nikmati Nasi Goreng di kafe-kafe di Amsterdam. Saya bahkan dalam mimpi melihat tulisan atau logogram Kuku Bima menempel pada jet-darat saat dibesut diajang F-1 (F = Formula).

Salah satu gejala yang ikut bersama gelombang tsunami ini adalah perpindahan orang dari satu tempat ketempat lain, dalam satu negeri, dalam satu benua bahkan se-dunia. Perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara ini yang kemudian memicu digubahnya lagu Takana Jo Kampuang oleh seniman Minang. Begitu pula dengan populernya lagi Sio Mama – Beta Ingak Pulang yang merupakan aransemen seniman Ambon. Belum lagi betapa banyaknya pemain sepak bola handal berasal dari Tanah Papua yang menjadi andalan klub-klub sepakbola. Tengok pula menjamurnya advokat dari tanah Batak.

Masih mengambil contoh di tanah air, lihat bagaimana pabrik tekstil dan garmen serta menjamurnya restoran yang menyajikan masakan serta hiburan a la Korea dan Jepang. Serupa halnya dengan pabrik besi dan baja serta toko-toko kain yang diawaki imigran dan pengusaha dari India. Paling menonjol adalah contoh mengalirnya arus perpindahan dari Tiongkok. Nyaris semua sektor ekonomi baik dari pengelolaan sumber daya alam, industri, penyediaan jasa sampai jalur distribusi dan retail didominasi oleh brain drainers dari China. Jika kita lakukan kuantifikasi atas peran dan kontribusi dari kaum intelektual yang berpindah ini bagi negara asalnya pasti decak kagum yang akan kita dengarkan. Walaupun sejarah menunjukkan banyak pula kejadian yang dipicu oleh kecemburuan sosial, khususnya bagi kaum pribumi yang merasa porsi kuenya diambil pendatang. Globalisasi pula yang menyebabkan maraknya butik dan gerai yang menjajakan produk dan jasa layanan muti-nasional. Ini sepertinya sejalan dengan pidato terkenal Presiden Soekarno saat mencetuskan Pancasila yaitu Indonesia hendaknya menjadi tamansarinya internasional. Sebuah pernyataan yang visioner mengingat kata globalisasi belum lagi pernah didengar saat pidato terkenal itu dikumandangkan.

Kita tudingkah semuaini sebagai sebuah fenomena yang merugikan?

Sekali lagi, tentu tidak !

Fenomena brain drain adalah konsekuensi alamiah dari globalisasi. Tidak kuasa kita menghadang tsunami globalisasi. Kemudian, adakah peluang kita mengambil keuntungan dari fenomena ini?

Brain Circulation – Not Brain Drain !

Kemajuan teknologi yang diikuti oleh pertumbuhan pesat ekonomi Jepang, Korea Selatan, China dan India pasti disebabkan oleh banyaknya intelektual iptek dan ekonomi mereka yang berkarier dan berkarya dinegara-negara maju seperti USA, UK, Jerman dan Perancis. Perpindahan kaum intelektual dan pebisnis ini bukan merupakan brain drain yang dituding merugikan mengingat mereka hengkang dari negara asalnya. Sebaliknya, mereka yang hijrah itu diperlakukan layaknya duta-besar dibidang masing-masing. Penganugerahan status duta besar ini yang sukses membakar semangat untuk mereka royal dalam berbagi informasi, pengetahuan, best practices, peluang investasi sampai pada donasi uang. Terkadang terbersit rasa cemburu kala mendengar pebisnis sukses WNI Keturunan China menjadi filantropi bagi berbagai kegiatan sosail dan pendidikan bagi negara asalnya termasuk Singapura dan Taiwan. Kadangkala ada juga rasa geram saat membaca berita betapa besarnya investasi yang mereka tanamkan di tanah leluhurnya. Ini semua menunjukkan bahwa fenomena yang semula dituding brain drain telah bergeser menjadi brain circulation dan telah terbukti betapa besar manfaat bisa diperoleh dari fenomena ini.

Mari sama-sama kita mengubah pola pikir kita yang sempat terperangkap dan latah menuding hengkangnya kaum intelektual di bidang iptek dan ekonomi kita dari Indonesia ke manca-negara. Segelintir masyarakat kita bahkan tidak segan menilai mereka yang melalangbuana itu sebagai tidak nasionalis. Bahkan, ada gerak pintas untuk memaksa mereka pulang ketanah air. Ini picik !

Sebagai penutup, mari kita jadikan mereka sebagai de facto duta-besar RI dan mari yakini bahwa dengan anugerah status sosial yang bergengsi ini maka akan banyak aliran informasi, pengetahuan sampai devisa mengalir ke dalam negeri. Jadikan mereka sebagai aset dan modal sosial kita yang kita tanamkan di mancanegara.

Keberadaan de facto duta besar kita ini yang akan turut berperan dalam upaya mewujudkan impian kita menjadikan Indonesia sebagai The Emerging Economic Power From The East mendampingi China dan India. Ini bukan impian kosong disiang bolong. Indonesia Bisa !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun