QS 2 ayat 8, lafalnya, “ wa mi•nan na•si may ya•qu•lu a•man•na bil•la•hi wa bil yau•mil a•khi•ri wa ma hum bi mu’•mi•nin “.
Ayat ini berupa kalam (dalam bahasa Arab). Kalam itu artinya kalimat, susunan kata yang memiliki arti dan makna. Kalam ini berbentuk berita, informasi. Kalam ini dari segi asal, berasal dari Alloh swt, dan dari segi yang membuat, yang membuat adalah Alloh swt, sehingga disebut kalam Alloh swt. Jika diucapkan, dilafalkan, dikatakan maka jadilah ia suatu perkataan, ucapan, sabda, firman (al-qoul), karena berasal dari dan yang membuat adalah Alloh swt maka bisa juga dinamakan perkataan, sabda, firman (al-qoul) Alloh swt. Kalam ini terdiri dari kata,
wa, ini adalah har•fun a•thof yang maknanya adalah “dan”,
min, ini adalah harfun jar yang maknanya adalah “dari pada, dari, setengah, sebagian”, dan makna yang tepat dalam konteks ayat adalah “sebagian”, sebagian itu bisa sedikit dan bisa banyak, bahkan satu saja dari sesuatu yang berbilang telah mencukupi untuk disebut sebagai sebagian,
an-na•su, ini adalah i•sim jam•’i (isim jamak) yang berasal dari kata “u•na•sun” yang mendapat awalan alif dan lam serta membuang hamzah awalnya (al-u•na•su menjadi an-na•su). Kata “u•na•sun’ adalah bentuk jamak dari kata “ in•sun” yang maknanya adalah “manusia”, sehingga an-na•su itu maknanya adalah “(seluruh) manusia”,
man, ini adalah i•sim mau•shul (kata sambung) yang maknanya “ (siapa) yang”
ya•qu•lu, ini adalah fi•’il mu•dho•ri (kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang) dari kata qo•la – ya•qu•lu – qou•lan yang maknanya “berkata”, huruf mu•dho•ro•’ah-nya adalah “ya’” yang takdirnya adalah “hu•wa” (dho•mir muf•rod mu•dzak•kar gho•ib atau kata ganti orang ketiga tunggal) yang maknanya adalah “dia” dan ini adalah merupakan fa•’il (subyek) dari fi•’il mu•dho•ri tadi, dan yang dimaksud dengan “dia” adalah “ mi•nan na•si “ (sebagian manusia). Jadi “ya•qu•lu” itu maknanya “ (dia) (sebagian manusia) berkata “,
a•man•na, ini adalah fi•’il ma•dhi (kata kerja bentuk lampau) dari kata a•ma•na – yu’•mi•nu – i•ma•nan yang maknanya adalah “beriman, membenarkan, percaya”, dan fa•’il-nya (subyeknya) adalah “nah•nu” (dho•mir mu•ta•kal•lim ma•’a•hu ghoi•rih atau kata ganti orang pertama jamak) yang maknanya adalah “kami, kita”, tapi dalam ayat ini bermakna “kami” (tunggal) karena yang berkata adalah seseorang atau satu orang (yang terkandung dalam kata “ya•qu•lu” di atas), yakni dalam makna “li•mu•’a•zhim naf•sah” (untuk mengagungkan diri), jadi “a•man•na” maknanya adalah “(kami) (telah) beriman”,
bil•la•hi, ini adalah frasa yang tersusun dari jar-maj•rur, har•fun jar-nya adalah “ba’” yang maknanya adalah “dengan”,tapi dalam konteks ayat ini ia bermakna “kepada”, dan maj•rur-nya adalah Alloh swt, nama Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang wajib diabdi, disembah, tempat menghambakan diri, diibadahi oleh seluruh manusia karena Dia adalah “rob•bul-‘a•la•min” (tuan, penguasa, pemilik, dari seluruh alam semesta, termasuk manusia), yang menurunkan wahyu-Nya (diantaranya Al-Qur’an) kepada para Nabi dan Utusan-Nya dari Adam as hingga Muhammad saw (termasuk Ibrohim as, Musa as, Isa anak Maryam as), jadi “bil•la•hi” maknanya adalah “ kepada Alloh swt “,
bil yau•mil a•khi•ri, ini adalah frasa yang tersusun dari jar-maj•rur, har•fun jarnya adalah “ba’” yang maknanya adalah “dengan”, dan maj•rur-nya terdiri dari susunan kata na•’at(yang mensifati)-man•’ut(yang disifati), man•’ut-nya adalah “al-yau•mu” (sebagai ma’mul yang terkena ‘amil yang men-jar-kan, sehingga menjadi “al-yau•mi”) yang maknanya adalah “al-waq•tu muth•la•qon” (waktu secara mutlak), yakni bisa bermakna waktu antara terbit matahari hingga terbenam, atau waktu dari terbenamnya matahari hingga terbenam lagi (24 jam), atau suatu masa tertentu, periode waktu tertentu, saat-saat tertentu, dan dalam konteks ayat makna yang tepat adalah “masa, periode waktu, saat tertentu”, dan na•’at-nya adalah “ al-a•khi•ru” (i’rob/harikat-nya mengikuti man•’ut-nya, sehingga menjadi “al-a•khi•ri”) yang maknanya “ yang akhir, yang penghabisan “, maka “al-yau•mul a•khir” itu maknanya “hari (masa, periode waktu, saat) akhir”, yang dimaksud adalah suatau hari, masa, periode waktu yang diawali dengan terjadinya kiamat hingga waktu yang kekal abadi di akherat (dan tidak ada hari, masa, periode waktu setelah itu), dan dalam konteks hari, masa, periode waktu penciptaan maka dia adalah hari, masa, periode waktu ke 7 (karena hari, masa, periode waktu penciptaan dari awal penciptaan hingga saat ini telah memasuki hari, masa, periode waktu ke 6, dan sekarang kita berada saat terakhir dari hari, masa, perode waktu ke 6 yang akan berakhir pada saat kiamat terjadi), jadi “bil yau•mil a•khir” maknanya adalah “ dengan hari (masa, periode waktu, saat) akhir “,
ma, ini adalah har•fun na•fiy•yah yang maknanya “tidak, bukan”,
hum, ini adalah i•sim dho•mir yakni dho•mir jam•’i mu•dzak•kar gho•ib (atau kata ganti orang ketiga jamak) yang maknanya adalah “mereka”, artinya orang yang berkata “ a•man•na bil•la•hi wa bil yau•mil a•khi•ri” itu ada banyak (tiga lebih),
bi mu’•mi•nin, ini adalah frasa yang tersusun dari jar-maj•rur, har•fun jar-nya adalah “ba’” yang maknanya “dengan”, namun dalam konteks ayat bisa diabaikan, maj•rur-nya adalah “mu’•mi•nun” (karena didahului ‘amil yang men-jar-kan, yakni har•fun “ba’”, sehingga menjadi “mu’•mi•nin”) yang merupakan i•sim jam•’i, bentuk muf•rod-nya adalah “mu’•mi•nun” yang maknanya “(se)(orang) yang beriman (kepada Alloh swt) “.
Jadi secara keseluruhan makna ayat (yakni terjemahannya) adalah, “ Dan sebagian (di antara) manusia (ada) yang berkata, “ Kami beriman kepada Alloh swt dan (dengan) hari (masa, periode waktu) akhir.” Dan (padahal sesungguhnya) mereka bukan orang-orang yang beriman (kepada Alloh swt) “ .
Penjelasan,
Dalam ayat ini Alloh swt menginformasikan bahwa ada sebagian manusia yang menyatakan bahwa dirinya beriman kepada Alloh swt tetapi sesungguhnya dia tidak beriman beriman kepada Alloh swt. Lisannya menyatakan beriman tetapi sesungguhnya hatinya berlawanan dengan apa yang ia nyatakan itu. Dan ini ada dua kemungkinan, pertama, dia sadar bahwa dirinya tidak beriman kepada Alloh swt tapi lalu menyatakan beriman di hadapan orang-orang yang beriman dengan maksud-maksud tertentu, punya misi-misi tertentu, dll. Kedua, dia menyatakan beriman dihadapan orang-orang beriman tapi dia tidak sadar bahwa dirinya sesungguhnya tidak atau belum beriman. Yang pertama tadi ya akan sulit dibenahi dan yang kedua lebih mudah. Dan itulah yang dinamakan orang munafik.
Bentuk penyataan keimanan (kepada Alloh swt) itu ya bermacam macam, salah satunya seperti yang dinyatakan dalam ayat ini ( “a•man•na bil•la•hi wa bil yau•mil a•khi•ri”), bisa juga dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (“asy•ha•du al la i•la•ha il•lal•loh wa asy•ha•du an•na mu•ham•ma•dar ro•su•lul•loh”), bisa juga dengan menyatakan dirinya sebagai muslim (“saya muslim”), dll.
Bagaimana bentuk-bentuk ketidak berimanan, ketidak percayaan, kepada Alloh swt itu? Banyak bentuknya, diantaranya mengingkari atau menolak ayat-ayat Alloh swt (dalam Al-Qur’an) walaupun cuma satu ayat saja (QS 29 ayat 47), menolak sebagian kitab yang diturunkan oleh Alloh swt dan menerima sebagian yang lain (QS 2 ayat 85), menghina, melecehkan, dll Alloh swt (QS 5 ayat 64), menghina, melecehkan, dll Utusan Alloh swt (QS 9 ayat 65-66), dll.
Jadi yang dinamakan munafik itu ialah orang yang menyatakan beriman kepada Alloh swt, tetapi sesungguhnya hatinya mengingkari, tidak beriman kepada Alloh swt.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H