Perpeloncoan yang lagi nyaring terekspos dengan kasus amoral kekerasan, mengingatkan saya akan halnya pengalaman pribadi semasa SMA dan diawal kuliah. pengalaman mengikuti kedua orientasi dalam dua masa yang berbeda tentunya. Bagi setiap orang yang mengenyam sekolah pun sepertinya peristiwa seperti ini juga menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Masa SMA
Mendaftar di SMA yang terkenal dengan kegiatan semi militer seharusnya memang membuat saya bersiap-siap dengan konsekuensi fisik dan mental. sayang sekali, karena sedikit informasi terhadap realita disekolah ini 'sesuai aslinya', membuat saya tak membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. persepsi saya, sebagai sebuah sekolah terkenal dengan prestasi ditingkat provinsi, SMA ini bisa menjadi batu loncatan yang baik tanpa ada 'bumbu-bumbu' lain di dalamnya.
semasa mendaftar dan mengikuti gelombang ujian di sekolah ini, suasana nyaman dan tertib adalah hal pertama yang saya rasakan. sebuah perasaan yang sama saya rasakan hingga satu minggu pertama masa persiapan sekolah. Push-up, pull-up, sit-up, lari 2.4 km tiap senin selasa kamis dan sabtu pagi, serta kegiatan bela negara (latihan berbaris dsb). satu minggu pertama yang damai tanpa kehadiran kelas 2 dan kelas 3 seluruhnya. yang ada hanyalah panitia ospek yang membantu kegiatan adaptasi di sekolah baru.
seminggu berlalu, masa MOS diresmikan selama 3 bulan awal sekolah, kami harus bermukim di asrama full tanpa izin keluar dan mendapat kunjungan. Disini lah masa penuh tantangan, masa memulai untuk mewarisi darah dan egoisme 'JUNIOR-SENIOR', masa 3 bulan dari 1 tahun ujian batin dan fisik sebagai junior. ‘emoh (gak mau) tinggal di asrama adalah satu jawaban yang pas bila saat itu ditanyakan keinginan sebagai junior’. Maka selama satu tahun itu gugurlah dua orang teman kami sebagai siswa di SMA yang kami banggakan.
Bertepatan dengan meninggalnya siswa STPDN selang 2003-2004 saat itu, dari pihak sekolah sebenarnya sudah memberikan ultimatum keras bagi siswa senior yang melakukan kekerasan akan di DO. Sayangnya, darah warisan dan dendam seorang bocah SMA memang lebih besar disbanding sebuah ancaman. Peristiwa di sekolah pun berulang seperti hari-hari sebelumnya.
Beban serasa lepas saat kami seangkatan naik ke kelas 2. Status senior diawal mula naik tingkat saat itu adalah peristiwa special. Seperti lezatnya masakan koki terkenal yang siap ingin disantap. Ternyata memang tampar, tinju, dan tendang mirip sekali dengan tongkat estafet yang siap member dan menerima dari senior kepada junior. Alhamdulillah, saya memiliki ketertarikan yang berbeda dari keumuman kawan-kawan saya, selama 3 tahun di SMA, tak satupun tangan ini melayang untuk menampar dan mumukul. Sebuah keluh kesah hanya bisa saya sampaikan pada adik-adik kelas saya selepas pengajian malam minggu.
“Buat adik-adik, bersabarlah, ikuti aturan yang ada, dengan kondisi ini saya memang tak sependapat dengan kebanyakan kawan saya, semoga keadaan ini kedepan bisa berubah’.
Lepas dari peristiwa itu, tak tahulah apakah adik-adik meresapi sedikit harapan dari saya, tetapi yang saya yakini memang kekerasan senior-junior ini mirip tongkat estafet. Hingga peristiwa pilu semacam perang angkatan disaat sahur dan di DO-nya kedua orang teman saya pada dua bulan sebelum masa UAN terjadi. Tentu mengingat hal tersebut hanya rasa sedih dan duka yang teriring. Alhamdulillah, meski sempat pindah sekolah kedua teman saya tetap tak terganggu mengikuti UAN dan melanjutkan kuliah di PTN. Begitu pun adik kelas korban dari kekerasan itu.
Yang lebih menggembirakan, dua atau tiga tahun setelah kelulusan saya, atmosfer kekerasan itu benar-benar telah hilang dari sekolah saya dan dengan tetap bertambahnya prestasi-prestasi akademik yang menyertainya
Saat kuliah