Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat Periode 2008-2013. Politisi Partai Keadilan Sejahtera yang juga aktif di Ormas PUI itu lahir dan besar di Sukabumi 19 Juni 1966. Pernah menjadi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2004-2009. Namun pada Pilgub Jabar tahun 2008 beliau maju berpasangan dengan Dede Yusuf (koalisi PKS-PAN) dan memenangkan pertarungan politik melawan incumbent Gubernur Danny Setiawan yang berpasangan dengan mantan Pangdam III Siliwangi Mayjen (Purn) Iwan R Sulanjana (Koalisi Partai Golkar-Partai Demokrat), serta Pasangan Jendral (purn) Agum Gumelar -Nu'man Abd. Hakim (Koalisi PDIP-PPP-PKB-PBB-PDS-PBR)
Pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf benar-benar menjadi kuda hitam yang tak diperhitungkan dalam peta pertarungan politik kala itu. Pasangan ini menang diantara pertarungan dua pasangan " gajah", paket DS-IS vs AG-NAH. Analisa saya suasana psikologis dan sosiologis masyarakat Jawa Barat kala itu berada pada kejenuhan politik pertarungan kedua pasangan "gajah"Â dan diidentifikasi sebagai "jago tua" itu. Waktu itu pun beradu incumbent Gubernur (DS) versus incumbent wagubnya (NAH). Sehingga ketika ada sosok baru AH dan apalagi wakilnya DY yang relatif populer dengan iklan "bodrek"nya, mereka mendapatkan tempat yang layak di sisi masyarakat. Mereka meraup suara terbanyak dan mememangkan pilgub Jabar.
Selain sosok DY yang populer dan disenangi ibu-ibu/kaum perempuan, kita juga tak memungkiri eksistensi PKS sebagai partai yang solid. Jujur masyarakat kala itu blank banget siapa itu Ahmad Heryawan, mungkin kalau orang Sukabumi sudah pada mengenalnya. Karena AH itu politisi PKS yang semenjak kelahirannya dari nama PK hingga berubah menjadi PKS, aktifitas politiknya di DKI Jakarta. Bahkan AH menjadi ketua DPW PK 1999-2003 dan ketua DPW PKS 2003-2006. Sehingga kemunculan AH dalam pilgub Jabar kala itu dari faktor AH nya sangatlah minim, tapi faktor mesin politik PKS nya bisa dikatakan bekerja maksimal.
Nah bagaimana keadaaan AH sebagai gubernur incumbent Jabar saat ini. Keputusan PKS untuk mencalonkan kembali AH ini menjadi pertaruhan politik sesungguhnya bagi AH dan PKS sendiri di Jawa Barat. Agar bisa menghapus stigma bahwa kemenangannya dulu itu karena faktor popularitas wakilnya (Dede Yusuf).
Memang harus diakui secara obyektif, bahwa AH menjalankan kepemimpinan dengan lumayan baik, sehingga mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai lembaga. Baik menyangkut AH secara personal maupun Pemprov Jabar secara institusi pemerintahan. Secara konsisten humas Pemrov Jabar mensosialisasikan berbagai prestasi dan penghargaan yang diterimanya itu baik di media cetak, elektronik maupun media outdoor.
Tapi ada satu titik lemah yang luput dari perhatian AH dan timnya, klaim keberhasilan yang seolah-olah hanya keberhasilan AH sebagai gubernurnya saja, sementara DY sebagai wakilnya seakan tak memiliki andil apa-apa. Hal itu menghembuskan kabar tak sedap, bahwa terjadi disharmony yang begitu parah antara AH dan DY dalam kapasitasnya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat. Selain itu kooptasi dan eksklusifitas jejaring yang melingkari AH dengan PKS nya juga terlalu muncul. Bungkus PKS yang terlalu terang benderang dalam Pilgub bukan malah menimbulkan sesuatu yang positif, karena eksistensi dan pesona figur lebih dominan dimata publik. (Pilgub DKI adalah contoh paling nyata).
Sisi lain yang cukup mengganggu bagi AH adalah, terlalu jor-jorannya pemasangan media sosialisasi tentang gambar dirinya. Baik di koran-koran dan Baligho serta spanduk. Mungkin tujuannya untuk menkerek popularitas dimata publik, mengejar ketertinggalan dari pesaing beratnya DY. AH memasang baligho dan banner sampai ke kampung-kampung dan pelosok desa.
Saya menangkap pesan dan kesan koq kurang baik dari masyarakat. " Asa nista, meni dinyayaah kitu duit teh. timana duitna nya masang nu kararieu teh" (kebangetan, sayang-sayang uang, darimana uangnya ya masang yang kayak gini). Ketika rakyat sudah menghitung sendiri persoalan media sosialisasi ini, maka dengan sendirinya pula akan diikuti dengan "persepsi" dan "asumsi" bahwa praktek tersebut menggunakan uang rakyat juga, "duit rakyat-rakyat keneh" celetukan warga di warung kopi pinggir sawah mah.
Prestasi dan berbagai penghargaan yang diterima oleh AH (kalau itu dianggap sebagai sebuah keberhasilan), tidak akan sampai pesannya kepada rakyat ketika datang masa "kariweuh" Pilkada. Politik persepsi tetap akan lebih mendominasi. Jika pesan "keberhasilan" itu tidak sampai dan tidak masuk ke dalam memory publik maka tetap saja akan berat bagi AH untuk menang pilgub dengan DY yang lebih populer dan diingat oleh publik dengan 'si bodrex" nya.
Maka ikhtiar AH dan PKS mendekati Deddy Mizwar, aktor senior dan sutradara serta produser ini cukup rasional dan baik. Setidaknya untuk mengimbangi dan menarik lem perekat momory publik terkait popularitas figur. Meskipun tingkat popularitas dan kekuatan karakter sosok DM di film dan di sinetron belum tentu linear dengan probabilitas/ kemungkinan dipilihnya. Karena karakter dan pesona figur DM bagi masyarakat Jawa Barat belum klik secara jiwa dan psikologis "kedaerahan" nya. Apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan untuk muncul sebagai sosok pemimpin. Jika datang dua aktor ke masyarakat tatar pasundan " DY dan DM" maka yang akan berebut berfoto dan menyalami pasti ke DY. Terutama kaum ibu/perempuan...hehhe. Ini fakta di kampung dan di desa. Mungkin berbeda dengan di daerah perkotaan.
Peluang duet AH-DM jika jadi, memang harus bekerja keras untuk menang. Tak ada yang tak mungkin memang. Jangan remehkan politik "persepsi". Persepsi publik akan sangat effektif menyerang memory masyarakat dan mempengaruhi tingkat kesadaran untuk memilih atau tidak memilih...Apalagi jika muncul persepsi, selama ini DY sebagai wagub didzalimi atau terdzalimi oleh AH sang Gubernur, tak diberi ruang yang wajar misalnya.....waahh itu alamat bahaya kang Aher...