Bagaimanakah rasanya seorang perempuan yang melahirkan anak sampai 13 orang? Saya tak pernah bertanya pada seorang perempuan paling istimewa dalam hidup saya, tapi saya menjalani langsung hidup dalam belaian kasih sayang dan didikannya. Dialah Ibu yang melahirkanku kedunia, yang sampai hari ini aku panggil dengan sebutan Emak.
Ya, Emakku memang perempuan terhebat, Dia melahirkan anak sampai 13 kali. Dari 13 anak itu yang ada 9 orang, sementara 4 lainnya meninggal. Saya sendiri merupakan anak kedua dari yang ada, karena dua kakak dan dua adik langsungku meninggal. Istilahnya saya ini "nanggung bugang". Sehingga yang ada saat ini adalah Kakak 1, dan adik 7 orang, dengan komposisi 4 laki-laki da 5 perempuan.
Emak dan Bapak saya memang tidak pernah ikut program keluarga berencana, meskipun saat itu digalakkan dengan sedikit penekanan dan intimidasi oleh pemerintah. Tapi secara rutin hampir rata-rata 2 tahun sekali Emak saya melahirkan anak.
Secara ekonomi bapak saya pun awalnya hanya bekerja serabutan, buruh kuli nyangkul di sawah, gali pasir gunung, jualan es, hingga narik becak. Saya memang merasakan betul kehidupan ekonomi sulit dan serba kekurangan itu, karena penghasilan bapak tak mencukupi dengan jumlah keluarga. Kita makan seadanya dengan lauk paling mewah ikan asin japuh, atau goreng telor yang dibagi kecil sekali sesuai jumlah anak.
Tapi kebiasaan makan bersama selalu dilakukan, jadi begitu emakku beres memasak lauk buat makan, maka semua anak duduk melingkar berjongkok, dan setiap hasil pasakan Emak, saat itu dipasak saat itu pula habis tanpa sisa. Emakku selalu bisa mengatur agar semua anak kebagian jatah lauk pauk buat makan, tidak saling serobot dan saling berebut. Jika ada salah seorang yang ngakali, Emakku suka memarahinya, dan kami paling segan kalo Emak marah sementara disitu juga ada Bapak saya. Karena semua kita sangat segan pada Bapak saya meskipun beliau tak pernah banyak bicara. Karena sekalinya bapak tersulut oleh marahnya Emak pada kami, maka marahnya Bapak akan membuat kami semua pada menundukan wajah.
Emak selalu mengajari kami untuk menerima keadaan dengan sabar dan tabah. Jangan pernah punya banyak keinginan yang macem-macem, jatah jajan kami sehari sangatlah kecil. Kalau ada kegiatan liburan dari kampung, naik bis rombongan ke Pangandaran atau ke tempat wisata, Emak langsung mengunci pintu, dan kami hanya menyaksikan dari balik kaca didalam rumah. Emak selalu bilang " Mun maneh geus garede mah ek indit kamana-mana ge bisa, da bisa make duit sorangan", Kalau nanti sudah pada besar mau pergi kemana-mana juga bisa, karena pake uang sendiri. Begitulah kalimat hiburan yang mendiamkan rasa ingin kami selaku anak kala itu, jika ada acara piknik dari kampung, sekolah atau apapun.
Begitu pula dalam hal pemberian baju baru jika lebaran tiba. Kami selalu dibelikan baju pada malam takbir di hari terakhir puasa, itupun Emak menunggu Apa di tempat mangkal narik becak bersama 2 atau 3 orang anaknya, hingga pada jam 8 malam, Ema belanja baju baru di emperan toko. Tak pernah yang berharga mahal dari supermarket atau toko pakaian, yang penting baju celana dan sendal baru meskipun murah, karena tokh hanya dipake pas hari H lebaran saja. " ke oge mun geus bisa ngala duit sorangan mah, ek meuli baju nu harga sabaraha wae ge pek..!" (nanti juga kalau sudah bisa cari uang sendiri, mau beli pakaian yang harga berapapun silahkan!) begitulah obrolan Emak yang selalu terngiang jika teringat urusan kebutuhan pakaian dll.
Emakku juga tak pernah melemahkan semangat menuntut ilmu anak-anaknya meskipun dengan keadaan ekonomi yang sulit. Prinsip bapak saya yang mengatakan "tidak akan mewarisi dengan harta, tapi mewarisi dengan ilmu" melalui dorongan untuk sekolah dan mondok di pesantren, dipahami betul oleh Emak saya. Emakku selalu bilang " Jung sarakola sing bener, masantren sing bener, da bakal kaparanggih ku maneh ieuh. Keun Emak jeung Apa mah belaan kumaha-kumaha we ikhtiar". Sekolah yang benar, mesantren yang benar, nanti juga akan ketemu oleh kamu, biarlah Emak dan Apa sekuat tenaga ikhtiar. Begitulah kira-kira maksudnya.
Saya dan kami semua memang dididik dalam situasi prihatin, tapi diberikan motivasi hidup yang sangat besar untuk meraih masa depan dengan cara menuntut ilmu. Saya dan kakak, adik saya menjalani proses menuntut ilmu di sekolah maupun di pesantren dengan kekuatan motivasi dan keikhlasan do'a dan niat serta kesungguhan Emak dan Apa yang ingin menyekolahkan anak-anaknya meskipun dengan segala keterbatasan, sehingga kami kadang pulang sekolah jalan kaki ke rumah, kehabisan bekal di pondok pulang jalan kaki menyusuri rel kereta api, sudah kebal ditagih bayaran berbulan-bulan oleh sekolah, bekerja membantu ekonomi dengan cara dan kemampuan masing-masing.
Kakak saya sampai ikut bersama Bapak saya narik becak atau jualan rokok dan buah-buahan sambil sekolah di Aliyah hingga tamat kuliah, adik saya sambil jualan surabi dan gorengan setiap pagi, saya juga sambil melakukan apa saja. Tapi alhamdulillah hingga anak ke 6 kini sudah menjadi sarjana semua, tinggal tiga adik perempuan kami yang masih kuliah dan SMU. Dan semuanya juga sudah menemukan kehidupannya masing-masing dengan berbagai pekerjaan dan kiprahnya. Dan kami pun anak-anaknya memang terbangun kebersamaan sedemikian rupa, sehingga kesan semasa kecil saat susah itu menjadi spirit untuk ikut meningkatkan derajat kehidupan orang tua dan membantu adik-adik kami yang masih sekolah atau kuliah.
Memang semua apa yang menjadi omongan Emak saya terwujud, kami para anak laki-lakinya dapat menikmati wisata (piknik) ke berbagai tempat yang dulu seolah tidak mungkin, entah itu dari kiprah di organisasi, urusan pekerjaan atau kaitan usaha, kami pun memiliki kebebasan fnansial untuk membeli pakaian sesuai apa yang diinginkan.