[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi/admin (KOMPAS/RIZA FATHONI)"][/caption]
Suatu sore sepulang beraktifitas, anak pertama saya yang duduk di kelas 3 SD bertanya “ Pa..enjing bade ka sakola Imam moal? Pan samenan, aya Ajay pa..” . Saya sempat mengerutkan dahi, apa itu Ajay. Lalu istri saya yang menjelaskannya. Bahwa acara kenaikan kelas di sekolah tempat anak kami menimba ilmu itu akan diwarnai dengan hiburan dari group lawakan yang cukup terkenal di daerah kami yaitu Ajay. Saya tak banyak berbicara lagi. Karena pada hari itu ada acara yang bersamaan, jadi otomatis saya tak mungkin menghadirinya. Sementara istri saya pun repot dengan bayi, jadi diputuskan yang akan menghadiri neneknya.
Kemarin, setelah muter-muter untuk satu urusan, saya beristirahat makan siang di salah satu rumah makan yang khusus dengan menu sate dan sop dengkul. Rumah makan itu langganan saya. Letaknya di dekat mesjid Attiyyah pinggir jalan raya Rajapolah. Seratus meter diseberang rumah makan itu ada keramaian musik dangdut. Saat saya tanya pelayan rumah makan, katanya sedang acara kenaikan kelas anak SD negeri disana.
Sambil menyantap sate, terdengar lagu Salah Alamatnya Ayu Ting-ting, ABG Tua, Belah Duren dan beberapa lagu dangdut yang biasa dipentas hajatan pernikahan, khitanan dan sebagainya. Saya tidak anti musik dangdut. Saya bahkan penikmat musik dangdut. Tapi ketika acara kenaikan kelas anak SD pihak panitia dan sekolah menyewa group organ tunggal dengan artis dangdutnya. Maka menurut saya sangatlah keterlaluan. Salah kaprah.
Bagaimana anak-anak SD disuguhi tontonan dan lagu-lagu dan tentu gaya menyanyi artis dangdut yang semua orang juga mafhum berpakaian dan berjoged seperti apa. Saat selesai makan, dan meneruskan perjalanan menuju rumah, saya sempat mengerem kendaraan saya barang beberapa menit dan melihat dari jalan ke panggung, bagaimana saat sang artis menyanyi, anak-anak SD juga ikut berjoged. Saya geleng-geleng kepala dibuatnya.
Saya teringan ketika saya SD dulu. Kalau kenaikan kelas, paling yang dipentaskan dari tiap kelas adalah berbagai kesenian khas anak-anak. Tari-tarian daerah, pembacaan puisi, menyanyi lagu anak-anak dan pentas bobodoran ala anak SD. Semuanya mencerminkan kreatifitas berkesenian yang didalamnya ada peran guru yang melatihnya dan mengarahkannya. Sehingga orang tua yang hadir, selain menunggu pembagian raport tapi juga disuguhi penampilan anak-anaknya. Ada kebanggaan tersendiri disaat menyaksikan anak-anaknya mentas.
Tapi kini, bagaimana pihak sekolah malah “nanggap dangdut”. Anak-anak dan orang tua siswa malah disuguhi lagu-lagu yang tidak pantas didengar oleh seusia anak SD, disuguhi gaya bernyanyi dan berjoged yang tidak layak dilihat anak-anak. Dipertontonkan gaya berpakaian artis dewasa yang memang berbahaya dilihat anak-anak. Jika semua fenomena pentas musik dangdut dengan lagu-lagunya yang hanya layak untuk ukuran dewasa, malah difasilitasi oleh lingkungan sekolah dasar, maka dimanakah rasanya tingkat kepekaan mendidik para guru dan pengelola sekolah itu.
Ini perlu mendapatkan perhatian para pemegang kebijakan didunia pendidikan. Jangan sampai sekolah, apalagi sekolah setingkat SD, dalam acara-acara kenaikan kelas, menyuguhkan hiburan dangdut yang tidak pantas secara usia dan lingkungannya. Karena bagaimanapun sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang harus selalu menempatkan tujuan mendidik sebagai acuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H