Ada beberapa artikel yang dimuat di media online yang menyebutkan seputar kehebohan pencapresan Raja Dangdur Rhoma Irama. Beberapa berita itu mengungkap latar belakang dan percikan pemikiran dari seorang Rhoma menyangkut niatnya menerima usulan para ulama, asatid dan habaib yang tergabung dalam "Wasiat Ulama" di pengajian Kwitang beberapa waktu lalu.
Salah satu yang diungkap Rhoma adalah seputar bacaannya akan kondisi bangsa ini. Demoralisasi, pudarnya nilai-nilai pancasila, meledaknya emosionalitas dan kekerasan antar elemen bangsa. Kompas. Com mengungkapkan dalam dialog A to Z Kata Rhoma soal Nyapres dengan kalimat " Keterpanggilan saya. saya melihat semakin hari demokrasi kita sudah kebablasan keluar dari komitmen falsafah Pancasila yang dicita-citakan founding fathers kita. Kita sudah jauh dari nilai ketuhanan, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan jauh dari nilai persatuan.
Indikasinya tidak ada sopan santun dalam berpolitik, berbangsa, dan bernegara. Seorang kepala negara boleh dicaci maki, disamakan dengan kerbau, drakula, tanpa ada sanksi hukum. Sementara presiden itu simbol negara. Kalau rakyat sudah mencaci maki presidennya, berarti dia menghina negaranya. Kalau presiden sudah seenaknya bisa dicaci maki, rektor dosen bisa seenaknya dicaci maki. Guru-guru juga tidak punya wibawa lagi kepada muridnya. Terjadilah demoralisasi.
Tawuran antarmahasiswa, antarkomponen bangsa karena tidak ada lagi nilai moral karena kita sudah hanyut dalam demokrasi yang permisif, serbaboleh. Saya ingin kembalikan bangsa ini untuk kembali kepada Pancasila. Yang semula kita bangsa religius, sekarang kita bangsa sekuler. Yang semula kita bangsa sopan santun, ramah, jadi bangsa yang beringas, yang emosional. Ini faktor keterpanggilan saya.
Lalu ada pula point pembicaraan Rhoma seputar fenomena praktik amar Ma'ruf nahyil munkar terkait kebijakannya jika dia menjadi Presiden Indonesia " Ya, mayoritas masyarakat kita umat Islam, tetapi akhir-akhir ini masyarakatnya tidak Islami. Ketika ada umat Islam yang berusaha mencegah kemungkaran, umat dituduh intoleran. Ketika ingin tegakkan akidah, umat dituduh tidak menghargai perbedaan."
Melihat point-point pembicaraan bang Rhoma Irama kita memang menangkap sebuah sikap politik yang bercirikan khas Islam Politik, bukan politik Islam. Islam politik itu mindsetnya adalah bagaimana negara ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa dijalankan dengan kepemimpinan "Islam" yang didalamnya dijalankan berdasar pada syari'at Islam. Sehingga kalau ada fenomena kemunkaran, boleh saja ummat Islam tertentu melakukan tindakan sendiri meskipun dengan kekerasan, dengan cara-cara yang menakutkan.
Ungkapan beliau diatas saja sudah menunjukan ketidak konsistenan. Bahwa apakah atas nama mencegah kemunkaran dan mengakkan ma'ruf boleh dengan cara-cara "tawuran" cara-cara kekerasan?. Lalu keterkaitan dengan falsafah Pancasila, bagaimana sejatinya nilai-nilai Pancasila itu menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu bagaimana langkah dan gaya berpolitik bang Rhoma selama ini terutama yang paling dekat saat Pilgub DKI Jakarta yang bernuansa SARA.
Negara yang berdasar Pancasila itu memiliki sistem ketatanegaraan yang didalamnya ada dan bersumberkan pada UUD 1945, UU, Perpu, PP dan hukum positif negara lainnya yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Meskipun Indonesia ini mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi urusan kenegaraan tidak berdasarkan syari'at Islam, dimana atas nama mayoritas bisa bebas melakukan praktik atas nama " Amar ma'ruf Nahyil Munkar" dengan cara melanggar aturan konstitusi kenegaraan. Kita semua dan para founding fathers dulu telah sepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam konteks negara Pancasila, prinsip Amar Ma'ruf Nahyil Munkar ala Rhoma Irama dalam bentuk kalimat " Ketika ada umat Islam yang berusaha mencegah kemungkaran, umat dituduh intoleran. Ketika ingin tegakkan akidah, umat dituduh tidak menghargai perbedaan." tidaklah mencerminkan bhineka tunggal ika. Karena jika itu dijalankan tanpa mempertimbangkan eksistensi ummat yang lain, warga negara yang lain, aturan negara yang mengatur keamanan, keselamatan dan ketertiban didalamnya, maka hanya akan mencederai tata kehidupan berbangsa dan bernegara saja.
Seruan amar ma'ruf nahyil munkar Rhoma melalui sya'ir-sya'ir lagunya tentang Persatuan, Judi, Mirasantika, Zina, Korupsi, sangat luar biasa dahsyat pengaruhnya. Tapi ketika itu ditempuh dengan bahasa verbal politik pencapresan Rhoma ternyata tak memiliki gaung dengan nada yang nyaman dimata dan telinga. Hanya menjadi nada-nada sumbang yang membuat gaduh rumah besar negeri tercinta Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H