Istilah Kawin paksa tidak hanya berlaku antara satu orang perempuan dan laki-laki yang tidak saling mencintya. kawin paksa juga seringkali terjadi dalam even-even politik semacam Pilkada, baik di tingkat Provinsi atau kabupaten/Kota.Â
Bulan September 2020 nanti akan digelar Pemilukada serentak di ratusan Kabupaten/Kota dan beberapa provinsi. Tahapannya sudah dimulai pada Bulan September 2019 ini. Sekitar Bulan Februari atau Maret akan memasuki tahapan pendaftaran Calon Gubernur/Wakil Gubernur atau Bupati/Wakilota dan Wakilnya.
Dalam proses menjelang pendaftaran kandidat calon itu, maka niscaya melalui tahapan atau proses koalisi partai-partai. Karena Setiap pasangan calon harus mengantongi usungan setidaknya 20 % kursi. Jika Jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota ada 50 maka koalisi partai itu harus mencerminkan minimal 10 kursi di DPRD.
Dalam penentuan Kandidat, surat rekomendasi dukungan dikeluarkan dari induk organisasi partainya di tingkat DPP masing-masing. Sehingga dalam prosesnya, meskipun Partai di tingkat Kabupaten/Kota melewati tahapan dan mekanisme penjaringan dengan mempertimbangkan aspek struktural kader, kualitas, kapabelitas serta popularitas serta dukungan jejaring struktural PAC hingga Ranting, penentuan akhirnya tetap ada di tangan DPP nya.
Seringkali terjadi, kandidat calon di daerah sebaik apapun, seluruh tahapan di level kabupaten hingga provinsi sudah selesai, mentok di tingkat DPP nya. Entah itu karena ada pertimbangan subjektifitas DPP ataupun hal lain yang benar-benar berada dalam kuasa para petinggi di DPP.Â
Sering terjadi dibawah sudah kongkow luntang luntung ketemu antar elit DPC merangkai paket pasangan ini dan itu, ketika di ajukan dan dimohonkan ke tingkat DPP yang keluar malah rekomendasinya kepada nama lain di luar yang di usulkan.
Ternyata proses Kawin paksa yang berangkat dari komunikasi tingkat tinggi antar elit partai di tingkat DPP menjadi fenomena dan salah satu cara komunikasi politik yang sebenarnya tak bisa dilepaskan pula dari gaya dan gerakan komunikasi elit politik di daerah juga, entah dengan menggunakan pola tangan ketokohan maupun cara lainnya yang terkadang lebih mengagetkan. Yaitu melalui mekanisme transaksional.
Sehingga seringkali kader yang baik, mumpuni dan berjuang berdarah-darah mengurus partai, tergeser rekomendasi usungan dari DPP nya oleh sosok lain yang sebenarnya tidak teruji kapasitas, loyalitas dan perjuangannya mengurus dan membesarkan partai.
Dalam upaya mewujudkan tata kelola dan kepemimpinan yang baik di daerah, selain mekanisme survei untuk mengukur popularitas kandidat, kiranya institusi partai melihat betul rekam jejak kader dan tokoh lokal di daerah yang kira-kira akan baik jika diajukan dan diusung untuk menjadi pemimpin di daerah. Selain itupula kjiranya ada mekanisme reward and punishmen bagi kader-kadernya di daerah jika dia berada dalam lingkaran pengurus stryuktural partai yang memiliki peluang dan kapasitas untuk berjuang dan mengangkat marwah partai dalam kontestasi semacam Pilkada.
Melalui mekanisme sepertri itulah akan terjaring kader-kader terbaik dan ketokohan yang memadai dan mumpuni untuk memimpin pemerintahan di tingkat provinsi maupun Kabupaten/kota. Dan sebaiknya praktek Kawin paksa itu dihindari dan diminimalisir agar tercipta persaingan dan kontestasi yang sehat sesama kader di bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H