Peristiwa cium tangan Jokowi terhadap Bibit Waluyo Gubernur Jawa Tengah jangan dianggap sepele secara kajian politik persepsi. Jokowi boleh jadi dengan rendah hati dan tulus melakukan itu sebagai wujud hormat secara kemanusiaan terhadap yang lebih tua darinya. Dan boleh jadi hal itu juga bentuk permintaan maaf dan restu pada Bibit Waluye bekas atasannya sewaktu menjadi Walikota Solo, ketika Jokowi kini mengemban amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Tapi semua orang tahu, dan media banyak memberitakan seputar permasalahan diantara kedua tokoh politik itu. Semuanya berawal dari masalah rencana pembangunan Mall Saripetojo yang ditentang oleh Walikota Solo Joko Widodo karena dianggap akan mematikan ekonomi masyarakat ekonomi kecil. Penolakan yang dilakukan oleh Jokowi sontak membuat marah BW dan menganggap Jokowi sebagai Walikota Bodoh.
Tapi lagi-lagi kala itu Jokowi menanggapinya dengan santai " Yaa memang saya bodoh. Dari dulu saya bodoh, saya juga heran kenapa masyarakat Solo memilih saya dua kali jadi Walikota" begitu kira-kira ungkapan Jokowi. Kemudian perseteruan berlanjut ke masalah Mobil Esemka yang kembangkan serta dipopulerkan oleh Jokowi yang mendapatkan reaksi negatif juga dari BW.
Kejadian hari Jum'at kemarin dalam pelantikan Walikota Solo yang baru menggantikan Jokowi sungguh menjadi tamparan politik paling indah dan elegan dari seorang Jokowi terhadap Bibit Waluyo. Jokowi dengan rendah hati membungkuk, menyalami dan mencium tangan Bibit Waluyo sang Gubernur Jateng. Sementara BW sendiri kelihatan menyikapinya dengan dingin dan kaku. Tak ada raut kehangatan di wajahnya. Sampai-sampai Jokowi berjalan di belakangnya dia.
Jokowi tetap dengan raut wajah penuh senyum dan ramah, sementara BW terlihat tegang dan kaku. Saya tak ingin memperdalam apa yang ada dalam diri BW terhadap Jokowi. Saya hanya ingin melihat dampak dan akibat politik peristiwa kecil dan mungkin remeh temeh tersebut.
Mencium tangan seseorang dalam tradisi masyarakat kita menunjukan rasa hormat dan takdhim yang tinggi. Biasanya dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya, seorang santri terhadap guru dan kiai di lingkungan pondok pesantren tradisional. Kesediaan untuk mencium tangan seseorang menunjukan kerendah hatian kita terhadap orang lain, penghormatan yang tulus terhadap manusia yang lain. Ketika Jokowi melakukan itu, betapa hal itu menunjukan bahwa Jokowi menghormati BW sebagai orang yang lebih sepuh dari dirinya, BW sebagai mantan atasannya semasa menjabat Walikota Solo. Mungkin hal itu juga dilakukan untuk meminta maaf dan mengishlahkan permasalahan yang selama ini terjadi antara dirinya dengan BW.
Akan tetapi dari peristiwa itu, ketika diliput dan disebarluaskan oleh media mainstream, cetak maupun elektronik hingga di media-media sosial. Maka Jokowi Effect itu akan merusak pencitraan BW sebagai tokoh politik, atau seseorang yang saat ini menjabat Gubernur dan berniat untuk mencalonkan diri kembali dalam Pilgub Jateng tahun 2013 nanti.
Dari berbagai pemberitaan itu akan terbentuk bangunan opini dan persepsi politik terhadap dua sosok yang akan dilihat oleh publik secara diametral. Yang satu (Jokowi) terbentuk dengan citra dan persepsi yang rendah hati, ramah, ramah, santun, tak belaga sok pejabat. Sementara yang satunya lagi (Bibit Waluyo) akan dipersepsikan sebagai sosok yang angkuh, arogan, dan tinggi hati, dengan mental pejabat pada umumnya.
Jika seperti itu akan terbentuk dan melekat pada diri BW, maka saya bisa prediksikan bahwa dalam Pilgub Jateng nanti BW akan bernasib sama dengan Foke atau banyak incumbent lainnya (baik gubernur, bupati/walikota) yang kalah ketika maju kembali dalam Pilkada untuk periode keduanya.
Inilah masanya, rakyat sangat menghargai keluhuran nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kesantunan, kebaikan, keramahan, kerendah hatian dan kelembutan jiwa. Inilah masanya pula media informasi menjadi kekuatan politik yang sangat dahsyat membentuk politik persepsi dikalangan masyarakat.
Sekali lagi, jangan sekali-kali meremehkan politik persepsi.