Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Anwar Membangun Istana "Surga"

8 Juli 2012   16:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di kaki gunung, dengan sawah-sawah terhampar luas. Diatas sebidang tanah gersang. Anwar duduk di atas bongkahan kayu yang berserakan. Termenung dengan tangan melingkar dilututnya. Dia menatap jauh kesana, ke arah pegunungan diseberang. Gunung Syawal dengan segala keindahan panoramanya.

Sesekali dia menjawab sapa tetangga, yang berjalan melewatinya dengan ragam aktifitas. Sekedar tersenyum dan menganggukan kepala. Ada rasa ajrih dari mereka, karena Anwar dikenal sebagai sosok yang sangat peduli daerahnya. Sepulang dari mondok di salah satu pesantren terkenal di Barat Tasikmalaya, dia aktif mengelola lembaga pendidikan agama di kampungnya, dan menjadi tetua dengan menjadi imam sholat berjama'ah di mesjid kampungnya. Masyarakat pun memanggilnya dengan sebutan Ustadz.

Anwar sosok yang bersahaja. Kedalaman Ilmunya tak membuatnya angkuh dan arogan saat terjun di tengah-tengah masyarakat. Dia juga tanpa pamrih, tak pernah berharap masyarakat memberinya materi, baik hasil kebun, padi hasil panenan, maupun uang dari mereka yang berusaha di kota. Bahkan dalam banyak hal, dia mengeluarkan banyak uangnya sendiri untuk mengembangkan pendidikan agama di kampungnya. Membangun fasilitas gedung, sarana alat tulis baca, hingga urusan sosial lainnya menyangkut masyarakat.

Dia merenung, Membayangkan tugas suci seorang kiai dan ulama, yang katanya pewaris sah dari sang Nabi dalam hal menyebarkan agama serta mengawal moralitas ummat. Terbayang obrolan seorang tetua kampung sesaat setelah usai sholat Shubuh sehari sebelumnya. "Kampung ini jumud sekali. Seperti tak ada yang bisa ditua kan dari mereka yang punya ilmu". Begitu ucapan sang tetua kampung.

Anwar tak mengerti maksud ucapannya itu, tapi sejurus kemudian, pak tua itu meneruskan ucapannya " Orang berilmu,  bergelar ustadz, ajengan, tapi malas datang ke masjid, untuk sekedar mengimami sholat berjamaah warga, anak-anak seperti kehilangan induknya, mau belajar agama tapi tak ada yang mau serius mengajarinya dengan istikomah" ungkapnya.

Dia menjelaskan panjang lebar kegalauannya, keprihatinannya akan keberadaan seseorang yang dianggap memiliki keilmuan yang sebenarnya sangat tinggi dalam hal agama, tapi dia enggan sekali untuk mengamalkan ilmunya bagi masyarakat, mengajar mengaji pada anak-anak, bahkan untuk ditua kan di mesjid sekalipun, sekedar memimpin sholat berjama'ah. Padahal awalnya warga kampung menyediakan fasilitas wakaf untuk tempat tinggalnya dan juga bangunan madrasah untuk tempat belajar anak-anak kampung.

Tapi semuanya ambruk. Kesibukannya mengurus politik, tak menjadikannya konsen untuk menjadi sesepuh masjid yang diturut oleh masyarakat. Hari-harinya sibuk dengan urusan dana aspirasi anggota Dewan yang didukungnya. Sibuk mengkondisikan kembali pemenangan pada pemilu 2014 nanti. Hingga yang muncul hanyalah label dirinya sebagai aktifis politik daripada seorang ustadz, ajengan yang sebenarnya lebih diinginkan oleh masyarakat. Pesantrennya hilang, bangun madrasahnya rata. Hanya tinggal rumah tempat tinggalnya saja.

Anwar, yang baru saja belajar hidup ditengah-tengah masyarakat, dalam kebimbangannya untuk mengejar kesuksesan dunia dengan kecemerlangan karirnya, atau terjun mengabdi dalam kerja sosial membantu mesyarakat melalui pendidikan. Dia hanya menatap  jauuh dengan tatapan yang penuh dialog pikir dan perasaan.Merenungkan semua ucapan tetua kampung itu.

Dia hanya mengambil sebuah tongkat kayu, dia tancapkan dalam tanah gersang tak terurus itu. Disini aku akan bangun Istana Surga. Tempat dimana warga kampung menikmati rezeki Tuhan dengan suka cita, Tak ada yang kekuarangan makan, atau tak mampu berobat atas sakitnya, anak-anaknya dengan penuh kecerian belajar agama, mereka anak-anak yatim dengan khusyu menuntut ilmu, bergembira dengan segala jamuan dan nyenyak tidurnya.

Anwar pun mengambil air wudlu, karena sudah masuk waktu Ashar. Dia teringat tugasnya mengumandangkan Adzan di mesjid, mengajak warga untuk sholat berjama'ah. Lantunan suaranya begitu indah. Dia benar-benar menyihir warga kampung. Sehingga mulai mengok Rumah Tuhannya, menuntun anak-anaknya untuk kembali mengaji. Dan Berharap Ust Anwar betah tinggal di kampungnya, tanpa harus berfikir bagaimana dengan yang selama ini sudah ada. Dan tak meninggalkan lagi kampung halamannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun