Mohon tunggu...
Usman Kusmana
Usman Kusmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang Lelaki Biasa Dan Pegiat Sosial Politik

Menulis itu kerja pikiran, yang keluar dari hati. Jika tanpa berpadu keduanya, Hanya umpatan dan caci maki. Menulis juga merangkai mozaik sejarah hidup, merekam hikmah dari pendengaran dan penglihatan. Menulis mempengaruhi dan dipengaruhi sudut pandang, selain ketajaman olah fikir dan rasa. Menulis Memberi manfaat, paling tidak untuk mengekspresikan kegalauan hati dan fikir. Menulis membuat mata dan hati senantiasa terjaga, selain itu memaksa jemari untuk terus bergerak lincah. Menari. Segemulainya ide yang terus meliuk dalam setiap tarikan nafas. Menulis, Membuat sejarah. Yang kelak akan dibaca, Oleh siapapun yang nanti masih menikmati hidup. Hingga akhirnya Bumi tak lagi berkenan untuk ditinggali....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Berburu Buku "Bekas" di Trotoar Jalan

12 Mei 2012   02:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu sewaktu masih tinggal di Jakarta, ada satu kebiasaan rutin yang selalu saya lakukan, yaitu berburu buku "bekas" di trotoar jalan.  Ya, Jika hari Minggu tiba, saya selalu jalan pagi mengitari komplek perumahan atau lari ke lapang Monas. Nah biasanya saat pulang lari pagi itu, saya suka melewati jalan utama menjelang pintu masuk sebelah samping komplek perumahan belakang jalan Tomang Raya, disebrangnya selalu ada pedagang buku bekas yang menjejerkan  buku-bukunya. Rindangnya pohon diantara trotoar jalan itu membuat suasana sejuk dan tak tersorot langsung sinar matahari.

Kenapa disebut buku "bekas", karena mungkin buku-buku yang didisplay di pinggir jalan itu merupakan buku-buku yang oleh pemiliknya sebagai barang bekas, tak terpakai lagi, lalu dijual sebagai barang loakan. Tapi bagi saya, buku-buku itu tetaplah buku. Tak ada istilah buku bekas. Karena bagi saya bukan pada kualitas baru atau bekasnya, tapi pada isinya.

Oleh karena itulah, saya selalu betah berlama-lama nongkrong di lapak buku "bekas" itu, saya pilih dengan pertama-tama melihat dari judul dan topiknya. Biasanya saya mencari dulu tema seputar sastra dan politik, baru kemudian ke masalah agama, sosial, dan budaya. Saya baca dari halaman sampul belakangnya dulu, biasanya suka ada resume atau komentar pengamat tentang buku itu, atau melihat dari daftar isi.

Jika dirasa menarik dan layak dibaca saya biasanya langsung memisahkannya, lalu berpindah lagi ke buku-buku yang lainnya. Sekali nongkrong minimal 5-10 buku yang berkualitas saya temukan dan saya beli. Harganya super murah lagi. Paling murah sekitar 5 ribu dan paling mahal 10-20 ribu, itupun buku yang kelihatannya masih bagus secara tampilan dan tebalnya. Pedagang sendiri kadang tak menyadari buku itu berkualitas atau tidaknya, jadi patokan harganya hanya dari sisi tampilannya saja. Sederhana sekali.

Aktifitas berburu buku "bekas" setiap Hari Minggu itu berlangsung hampir selama 5 tahun, memang tidak setiap minggu bisa beli buku, kadang melihat situasi dompet juga, atau kadang ada kegiatan lain yang menghalangi, atau mungkin harus pulang kampung.

Namun dari aktifitas tersebut, saat saya pulang kampung, ada sekitar 4 kardus besar berisi buku yang harus saya angkut. hanya sebagian kecil buku-buku baru yang saya beli dari toko buku, itupun kebanyakan buku-buku mata kuliah di kampus, selebihnya adalah buku-buku yang saya beli di pinggir jalan itu. kini sepertiga lemari perpustakaan saya berisi buku-buku yang dibeli dari pinggir jalan raya itu, mungkin ditambah dari beberapa kali mampir tak sengaja dalam perjalanan saya ke suatu tempat keramaian yang disana ada display buku bekas.

Setelah saya mendapatkan penghasilan sendiri dan ada alokasi yang cukup untuk membeli buku baru, barulah saya secara periodik mampir ke toko buku yang ada di mall, jika bersama istri dan anak-anak pergi ke mall, saya selalu sempatkan untuk mampir ke Gramedia, untuk membeli 2-5 buku terbaru. Bahkan istri saya sempat protes, katanya nilai belanjaan untuk keperluan rumah tangga, kalah sama belanjaan buku...hehe

Kini, saya memperlakukan perpustakaan pribadi ini sebagai perpustakaan keluarga, ikut membantu kebutuhan buku adik-adik saya yang kuliah juga kadang beberapa kolega. Ada beberapa mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan suka minjam. Dan yang paling membahagiakan saya adalah, bahwa anak pertama saya, mulai suka membaca dan betah berlama-lama di ruang baca, kadang dia baca di ruang tivi. Hasilnya? saya sering mendapatkan pertanyaan yang saya anggap melebihi kadar keilmuan seusianya.....

Paling tidak, saya ingin menularkan budaya baca dan budaya senang berteman buku pada anak-anak saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun