Sore sepulang magang, aku baru mendengar kabar bahwa Pasar Kosambi terbakar dan butuh waktu hingga 24 jam lebih untuk memadamkan api. Awalnya aku mengetahui kabar tersebut dari linimasa sosial media Twitter.Â
Informasi yang aku dapat adalah seorang pemadam kebakaran yang tengah letih sambil memegang segelas air minum kemasan dengan mata yang lelah. Ditambah lagi dengan informasi yang lewat dari portal media yang aku ikuti, dengan penggambaran para pemadam kebakaran yang saling berkumpul duduk dan saling bersandar karena akhirnya api sudah padam.
Informasi selebihnya aku baca melalui detik.com, yang mengatakan bahwa api menyambar hanya di sekitar basement saja. Tidak sampai ke lantai 1 yang penuh dengan barang-barang mudah terbakar, seperti seragam sekolah dan pakaian lainnya.Â
Berbagai portal media serta sosial media sekaligus menyebarkan suasana saat itu. Sesak, penuh kelabu, dan bagian depan dekat tangga yang banyak menjual oleh-oleh tidak terlihat lagi keramaiannya. Semua sudah penuh menjadi abu.
Mengetahui peristiwa ini, aku turut berduka kepada semua pedagang yang terlibat dan harus kehilangan mata pencahariannya sementara. Wacana untuk renovasi tengah dibicarakan, atau sudah digagaskan? Semoga saja jika wacana tersebut benar-benar terimplementasikan oleh pemerintah, para pedagang bisa tersenyum lagi melihat pengunjung yang datang atau hanya sekadar berlalu-lalang.Â
Semoga saja jika wacana tersebut benar-benar terimplementasikan, para pengunjung dapat terkenang dengan keramahan para pedagang dengan logat khas Sunda, serta semua yang dijajal secara lengkap dengan harga yang bersahabat.
Kebetulan saat mengetahui peristiwa kebakaran itu, aku merasa sedih. Tempat yang meninggalkan banyak kenangan, mengapa harus ludes terbakar walau tidak memakan korban?
Dan kemudian, aku menjadi rindu saat-saat itu di Pasar Kosambi.
Pertama kali aku singgah ke Pasar Kosambi karena seniorku, Kak Audin, yang beberapa hari kemudian kembali pulang ke tanah asalnya. Budayanya sebelum pulang ke kampung halaman adalah membeli oleh-oleh (kue dan keripik) khas Bandung dengan harga yang murah.Â
Oleh-oleh tentunya bisa dibeli secara kiloan. Waktu itu aku ingat, Kak Audin membeli keripik tempe dalam jumlah besar. Ditambah lagi dengan aneka kue kering, sepertinya.Â
Pasar Kosambi, pada umumnya terkenal karena 'pasar'nya. Menurutku, Pasar Kosambi terkenal karena di malam hari, ada yang menjual bubur ayam hingga masuk rekomendasi bubur ayam di Bandung yang harus dicoba.Â
Ya, Bubur Ayam Bejo namanya. Aku atau teman-teman lain biasanya menyebut sebagai Bubur Kosambi. Letaknya persis di pelataran sejajar dengan pintu masuk pasar.Â
Bubur ini sendiri modelnya dalam bentuk gerobak dan membuka semacam tenda dengan meja kayu, kursi plastik, dan tersedia meja plastik di luar tenda. Dengan kondisi yang seadanya, tapi rasanya tak kalah nikmat.Â
Dengan harga satu porsi sekitar Rp. 14.000, aku jamin kamu akan merasakan yang... memang gak cukup satu mangkuk saja. Selain ayam dan ati ampelanya (Ya, aku suka sekali dengan bubur ayam ati ampela), penggunaan kerupuk melinjo terbilang unik. Juga cakwe yang aku sangat senangi memiliki ukuran yang besar-besar, seperti bubur khas Tiongkok.
Sebenarnya aku memiliki kenangan manis di Pasar Kosambi, terlebih saat memakan bubur ayam bersama sosok yang sempat mengisi hati.
Waktu itu hari Sabtu, sepulang kami dari kencan yang direncanakan ke Bandung Planning Gallery. Kami menuju Pasar Kosambi untuk menikmati bubur bersama di sana. Aku yang meminta pada mulanya, karena si dia adalah anak rantau, harus saya jejel kuliner yang direkomendasikan banyak orang saat berada di Bandung.Â
Akhirnya, kami berdua benar-benar mewujudkannya dengan masing-masing setengah porsi. Aku memesan dengan ati ampela, ia dengan varian biasa karena tidak suka dengan jeroan.
Sambil mengunyah lembutnya cakwe dalam bubur, dia memberi pertanyaan terus menerus, mengenai keluargaku, kesibukanku di kuliah. Tapi lebih banyak menanyakan seputar keluargaku, dan tanpa aku tanya ia juga menceritakan keluarganya. Serasa kami begitu dekat, tinggal dibawa saja ke rumahnya yang jauh ada di timur Jawa. Kalau diingat rasanya rindu sekali.Â
Rindu saat kami sedang saling bahagia. Rindu kami yang masih sering bercanda. Rindu kami yang masih bisa jalan bersama, makan bersama tempat makan favorit di pinggir jalan seperti ini.
Sayangnya, aku dengannya sudah bukan apa-apa. Kami hanya teman, tak lagi dekat seperti dulu. Kami memiliki kehidupan masing-masing yang tidak bisa diganggu. Kami mungkin tidak sepaham, hingga akhirnya kami selama dua bulan ini tidak saling melempar kabar.
Benar-benar padam gejolak ini.
Sama seperti keadaan Pasar Kosambi yang baru terbakar dan telah hangus tanpa sisa. Mungkin aku harus berterima kasih kepada tempat ini, sekaligus Bubur Ayam Bejo Kosambi yang telah membawaku saat itu dengannya ke tahap 'sedikit' lebih jauh.Â
Padamnya Pasar Kosambi adalah padamnya kasih yang hampir terajut. Bedanya, tidak ada lagi wacana renovasi pada hati kami untuk kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H