Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setiap Jalan atau Setiap tempat atau Sebuah Buku dan Cara Melupakan

9 Mei 2018   02:43 Diperbarui: 9 Mei 2018   03:29 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang ingin kau lupakan?" gertakku untuk membuatnya terus bicara.

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandangku dengan sorot mata yang dalam. Sangat dalam.

Hingga akhirnya aku tersadar kembali. Ingatanku tentangnya berupa sebuah bongkahan unik dari sekian banyak kenangan yang kulewati setiap waktunya. Ia serupa nyala api ditengah sungai. Kemanapun ia pergi, setiap mata bakal mengikutinya.

Aku lalu bergerak serupa kilat menuju meja kamar. Meraih bingkisan berwarna cokelat tadi. Dan sebagaimana kebanyakan orang, sebelum membukanya, aku masih menimbang-nimbang isi didalamnya dari bobot dan bentuknya. Aku jadi penasaran.    

~

Setelah menambah tekanan angin, membayar sewanya yang tidak seberapa, juga menjinakkan kucing kecil yang entah kenapa sangat ku takuti. Kami kemudian menyusuri berbagai jalan, dan tempat. Dan sebagaimana biasanya, disetiap tepi jalan dan tempat yang kami singgahi ia selalu menghela nafas berat. 

Matanya nanar, hampir sedikit lagi meneteskan air mata. Mungkin karena ada aku, jadi ia mengurungkan niat untuk menangis. Bukankah menangis itu sesuatu yang baik. Sebuah proses alamiah saat tubuh dan pikiran kita tidak sanggup lagi menerjemahkan sesuatu dalam bahasa dan gerakan lain, selain tangis itu sendiri.

Kami berhenti dan beristirahat sejenak pada sebuah kedai dipuncak bukit. Di sisi jalan yang memanjang menghubungkan beberapa kota dan desa. Jujur saja, aku belum pernah sampai ke tempat itu, aku juga tidak pernah berpikir akan sejauh ini perjalanan kami ketika ia menunjukan rumahku yang terletak jauh dibawah sana.

Aku memesan segelas Cappuccino, sedang ia memesan segelas kopi pekat, yang hitam dan terasa pahit sejak dari pandangan. Sekelabat kemudian dengan tiba-tiba ia mengatakan bahwa sejarah selalu merupakan hal paling aneh dimuka bumi ini. Aku senang saja, dan tersenyum. Bukan karena ia begitu misterius lantas banyak mengundang rasa takjub, melainkan karena ini kali pertama sejak pertemuan kami, ia terlihat banyak bicara. Setidaknya bersemangat untuk bicara. 

Dan begitulah kemudian ia menceritakan sebuah kisah dimasa lalu yang membantu trend pasar salah satu perusahan kecil penghasil kopi Cappuccino di Italia. Bulan pernah terjatuh disecangkir Cappucinno, katanya. Ia terus saja melanjutkan cerita itu dengan berbagai kisah-kisah lainnya. Termasuk cerita tentang seorang perempuan yang masuk kesebuah kafe dengan memesan minuman yang sama, lantas kemudian membawa kabur sepotong bulan utuh yang ada didalam gelas itu, dan memampangnya kembali dimalam langit malam hari.

Aku terkekeh, sungguh cerita yang tidak masuk akal. Tapi bagaimanapun aku tetap senang, ia lebih baik dari yang sebelumnya ku kenal. Setidaknya ia tidak seperti robot, ia punya kehangatan dibinar matanya, juga disenyumnya, yang perlahan-lahan semakin mendekat ke wajahku. Semakin dekat, semakin dekat, hingga begitu dekat. Hidung kami nyaris bersentuhan. Hingga akhirnya seluruh yang kurasakan menjadi runtuh seketika. Rasa bahagia itu, rasa penasaran itu, rasa lucu, dan segala rasa lainnya, semuanya pecah seketika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun