Tak ada yang lebih mengiris hatinya, kecuali itu adalah kematian Jhon. Lelaki itu, yang biasa disapa Edi Ponga, yang sebenarnya tak pernah satu pun orang pernah menyapanya, tapi namanya tetap Edi Ponga, hari itu pada suatu siang setelah ia selesai dengan rongsokan plastik dalam karungnya, ketika sedang ingin menyapa karibnya yang hanya satu-satunya, juga karena sebegitu rindu-rindunya pada Jhon (karibnya yang tadi sudah kukatakan padamu), tiba-tiba saja menjerit minta ampun.
Ku sampaikan ini padamu, dengan cara yang agaknya -cenderung-klise.Maaf, sebagai penulis (semoga tidak berlebihan) yang tidak ingin membuat jantung pembacanya copot sebelum kisah ini usai, cara-cara mainstream terpaksa aku lakukan, dan aku harus mengatakan hal pahit ini padamu: Jhon itu babi.
Percaya atau tidak, Edi Ponga adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang hidup tanpa siapa-siapa, itu sebelum kehadiran Jhon yang tanpa sengaja datang mengisi hari-harinya. Dan sebagaimana kita tahu, Jhon sudah mati. Dan hal itu membuat Edi Ponga harus merasakan perih di dada ringkihnya untuk pertama kali dalam hidupnya.
Edi Ponga tak pernah merasakan sakit hati yang seperti itu. Arti kehilangan baginya sama dengan makna kehilangan bagi banyak orang, meskipun ia kehilangan seekor babi. Ia sedih karena ia tak bisa berbuat apa-apa dihari-hari terakhirnya. Ia menemukan luka di hatinya karena tak bisa menyaksikan sakratul maut menjemput satu-satunya ciptaan Tuhan yang menemani dan mengajarkan arti memiliki dan arti hidup padanya. Dan ia menangis, karena tak bisa berbuat apa-apa sebagai balas jasa karena Jhon sudah menemani hari-harinya, termasuk bahkan tak bisa sempat menyembelihnya selayak binatang terhormat lainnya.
Edi Ponga pada akhirnya menyerah pada waktu, Jhon tak bisa kembali menjadi babi periang yang selama ini menemaninya makan, tidur, merokok, mengopi, dan bahkan berhutang nasi. Ia sudah jadi mayat babi, eh, maksudnya bangkai babi. meski dalam hati Edi Ponga ia tak rela menyebut Jhon sebagai bangkai, ia lebih suka mengatakan seonggok daging bisu itu sebagai jenazah.
Ia tak pernah mengenal siapa pun di dunia ini, termasuk para tetangganya yang tinggal di gedung-gedung apartemen, yang menjulang, juga mengimpit gubuknya yang sebenarnya lebih layak kalau disebut sebagai kandang babi. Jadi ia tak mengetahui bahwa bangkai babi tak layak disebut sebagai jenazah, ia tak tahu bahwa yang layak disebut jenazah itu hanya manusia. Tapi ia tidak mengenal siapapun yang berarti dalam hidupnya, termasuk orang-orang diperkampungan kumuh itu. Tidak satupun manusia kecuali seekor babi, ya, itu adalah Jhon.
Jhon adalah segala-galanya baginya. Babi itu adalah teman curhat lelaki ponga itu, meski dalam kenyataannya, baik Jhon dan Edi Ponga sama-sama tak bisa bicara. Bukankah lebih baik begitu, dunia adil pada sahabat yang sama-sama tak bisa saling mencela seperti mereka, berbaik bibir di depan, tapi mengiris dengan mulut di belakang. Ia jadi teringat pada sahabat-sahabat kecilnya di kampung.
 Ia anggap sahabat hanya karena sebatas umur mereka yang sepadan, bukan karena Edi Ponga bisa bergaul dengan mereka. Karena anak-anak itu akan dan bakal mengata-ngatainya dengan berbagai celaan, dasar ponga! Dasar makhluk luar angkasa! Dasar turunan demit! Dan sebagainya, dan sebagainya, jika Edi Ponga kecil berani mendekati mereka, dan apalagi sampai meminta ikut bermain.
Itu adalah awal ketika ia pada akhirnya memutuskan untuk pergi ke kota, dan jadi pemulung di sana, dan juga bertemu babi yang ia beri nama Jhon itu.
~
Di hadapan bangkai itu ia akhirnya mengapitkan secarik kain, yang entah dari tong sampah dimana ia menemukannya. Ia perlakukan mayat Jhon sebagaimana mayat manusia, meski tanpa doa, karena ia tak bisa berdoa. Itu lebih baik ketimbang anak muda yang kemarin sore dibakar masa karena mencuri sepeda motor, atau seorang kiyai yang bunuh diri karena dituduh tidak mendukung agamanya, atau seorang perempuan yang minggu lalu disabet oleh suaminya dengan parang karena selingkuh.