Atas kesaksian sebongkah meja yang terbuat dari kayu mahoni, juga sepasang kursi merana yang saling berhadap-hadapan, sebuah peristiwa aneh baru saja terjadi. Dua orang, laki-laki dan perempuan saling diam satu sama lain disana, tepat dihadapan meja mahoni dan kursi merana yang kubilang tadi. Dan seperti yang kau tahu, mereka tidak bicara satu katapun sejak aku menuliskan cerita ini, mereka hanya memandang ke satu arah yang sama, ke meja yang jadi batas tubuh mereka tak saling bersentuhan.
Di atas meja itu ada sebuah guci kecil yang menyerupai antik peninggalan kaisar ming di Cina, yang di isi dengan setangkai mawar putih. Ada dua buah cangkir, masing-masing di isi dengan keegoan tiap-tiap dari mereka. Cangkir satu terisi dengan cairan berwarna cokelat, yang dalam dugaanku itu adalah kopi susu atau entah apa namanya. Sedang yang satunya lagi terisi teh, ini jelas-jelas teh, kau tidak perlu membuat praduga atas teh yang jelas-jelas adalah teh, atau bagaimana menurutmu?
~
Namaku Doni, namamu siapa? aku suka cappuccino sejak aku suka menulis. Aneh bukan, aku juga enggan dapat jawaban kenapa bisa menyukai beberapa hal secara berturut-turut. Aku sudah mencari segala jawaban kenapa aku suka menulis, kenapa aku bisa suka cappuccino setelah suka menulis, dan sampai sekarang aku masih belum dapat satupun jawabannya, kecuali rentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Aku mulai menyukainya sejak aku suka datang kesini, tentu ini ada hubungannya dengan cappuccino, dan juga ada hubungannya dengan menulis. Ia perempuan yang, ah, susah bagiku menjelaskannya padamu, sesusah aku menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang aku buat untuk diriku sendiri.
Dua bulan lalu ia duduk dipojok ruangan ini, dan aku duduk dipojok lainnya. Entah kenapa aku jadi suka duduk dipojok ruangan, ini sebuah pertanyaan baru, tapi nanti saja kita cari jawabannya, ya. Kami sama-sama sendiri waktu itu, tapi aku tidak tau dihatinya bagaimana, ia sibuk dengan buku-buku yang ia baca dan aku sibuk dengan laptop, kopi, dan rokok dihadapanku. Oya, aku lupa bilang, ia suka membaca.
Sebenarnya aku ingin bertanya, bagaimana kriteria perempuan yang jadi idamanmu. Tapi kau melarangku bertanya ketika aku sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu, makanya aku tidak pernah bertanya tentang itu. Ia perempuan dalam kategori yang sangat ku kagumi. Kau tahu, ia adalah batas imajinasiku menggambarkan keindahan perempuan dalam tulisan-tulisanku, dan oh ya ampun kacamata dan caranya mengikat segumpal rambgut dikepalanya itu, semua itu membuat aku tidak pernah menyangka bahwa Tuhan pernah menciptakan perempuan semanis dirinya. Ah, kurasa kau tidak mengetahui itu.
Sebelum hari ini, dua bulan lalu aku memberanikan diri untuk menjahit rasa dihatiku, untuknya, juga menghunus mental dihatiku untuk tiap apa saja konsekuensi dari kecerobohan jatuh cinta pada perempuan seperti dia, dan diluar dugaanku, kau tahu, ah mungkin aku sudah terlalu banyak bicara, ia dan aku akhirnya memutuskan untuk menjalani sebuah situasi dimana kami saling jatuh cinta. Ia mencintaiku, dan aku mencintainya. Begitu kira-kira sebelum hari ini terjadi. Aku berharap hari ini adalah hari kiamat.
~
Sepasang perasaan itu keluar dari dua manusia yang sejak tadi hanya diam dan saling pandang memandang. Si lelaki mengeluarkan perasaan itu dari dalam dadanya, kemudian dihantarkannya perasaan itu diatas meja dihadapannya dengan hati-hati, mungkin ia khawatir kalau perasaannya bakal tergores potongan kayu mahoni yang sudah jadi meja itu, atau bisa juga ia takut kalau-kalau perasaannya jadi kedinginan karena tidak pernah merasakan udara diluar dada pemiliknya. Semua itu hanya barangkali, toh dalam jarak, aku hanya bisa menduga, dan menfatwakan sebuah kemungkinan.
Sementara perempuan, ia mengeluarkan perasaannya dari dalam dadanya yang, ah, ini juga sulit ku jabarkan, maksudnya dadanya itu, tapi lupakan saja, ia pada akhirnya melakukannya dengan sempurna dan lancar-lancar saja, serupa orang buang kotoran, tanpa tekanan, dan tanpa rasa menyesal.