Malam Pertama.
"Kau ingin apa Dinda?" lamat - lamat suara itu menggema lewat dinding hitam kamarnya.
"Apa yang aku inginkan?" Dinda menerawang dalam gelap dinding kamarnya, mencari asal suara yang mengganggunya beberapa malam ini.
"Tentu!"
"Aku ingin jadi Kartini, bolehkan!"
"...." Tak ada balasan hanya suara hembusan lembut angin yang mendesir, seumpama nafas yang keluar dari hidung raksasa, ia dapat mendengar jelas dan membayangkan sosok yang berbicara setengah sadar dengannya.
"Hallo?" Dinda sedikit terganggu ketika suara gamang itu tidak menyahut permintaannya, "Apa ada orang disini?"
~~~~
Tidak seperti biasanya Dinda berdandan seperti itu, pikir salah satu teman serumahnya, ketika pagi dengan wajah berseri - seri Dinda keluar kamar dengan mengenakan kebaya, juga dengan rambut yang disanggul. Tak banyak komentar yang terpercik dari bibir kawan - kawannya, kecuali semacam tanda tanya dengan gaung yang luar biasa bergetar dipikiran mereka, "Perempuan ini sudah sinting!" sambut salah satu penghuni rumah itu menyambangi tempat duduk diruang tamu, Dinda hanya tertawa, sedikit terbahak, batuk dan tawanya menggambarkan wataknya yang tidak berwarna, juga melukiskan kemiskinan yang mengakar ditubuhnya.
Malam Kedua.
"Apa yang kau inginkan Dinda?" suara itu terdengar lebih dekat dari malam - malam sebelumnya, seperti sedang berbisik dengan deru hembus nafas yang meronta - ronta ditelinganya.
"Aku sudah bilang berkali - kali padamu, aku ingin Kartini!" bibirnya melengkung ke kanan atas, sengaja ia mengantar kata - katanya dengan raut jengkel pada suara serak itu.
"Hemm!"
"Kenapa?" bentakan itu seperti kilat yang menyambar air dari mulut Dinda, seperti meludahi suara yang menggema lewat dinding kamar yang menghitam dengan sengatan listrik, "Kalau tidak sanggup, pergi sana, dan jangan ganggu aku lagi!"
Suara itu menghilang tanpa jejak, sementara sepat masih mengganjal ditenggorokannya. Dengan malas ia bangkit dan berkeliling mengitari seisi kota, malam itu langit juga serasa licik bersepakat menambah - nambah bebean gundahnya, mendung dan rintik mengguyur daun - daun Quercus, serta desir angin yang menyelimuti perempuan itu dengan dingin dan tanda tanya besar, "Apakah aku tidak pantas jadi Kartini?"
~~~~
Pada hari lain, ditengah suasana nomor kalender yang memerah, ia menghabiskan waktu di depan televisi, matanya serius memandang kearah layar yang sebenarnya lebih banyak bercerita tentang kebohongan dari pada kenyataan, tapi ia tak peduli, cerita tetap kebohongan, dan ia tak percaya pada televisi, ia hanya percaya pada gambar yang bergerak serta tulisan besar yang seolah memaksanya untuk tak berkedip, "Kartini, Pahlawan Perempuan!"
Seorang perempuan berbusana anggun keluar melewati kerumunan orang, juga cahaya seperti kilat yang masuk ketengah ruangan besar, itu Kartini, dalam hatinya berkata. Matanya mematung ke arah layar tak ada kata yang keluar dari mulutnya, kecuali senyum yang mengiris wajah manis khas perempuan berwajah bulat dan berhidung mungil, dengan dagu yang indah seperti pahatan seorang arsitek ternama.
Sesekali teriakan keluar spontan, melompat dari tenggorokannnya yang selalu menggemakan suara lengking. Ia begitu senang melihat seorang perempuan yang berada disana, dibalik layar televisi, dengan wajah putih, cantik, serta busana yang nampak cukup mahal baginya.
Malam Ketiga.
Suara itu tak datang menghampirinya, ia kesal bukan main, bibirnya kembali melengkung kekanan atas, tak ia percaya betapa pecundangnya suara itu, "Dasar sialan!" umpatnya dalam hati. Sebelum malam datang, ia telah mempersiapkan segala permintaannya jika saja suara yang selalu datang ditelinganya, sebuah gaun, sepaket pemutih wajah, dan tentu penonton dan berbagai macam kilatan seperti yang baru saja ia saksikan lewat televisi siang itu.
Akan tetapi suara itu tak kunjung datang hingga pagi ia terjaga dari tidurnya, dan ia tetap kesal.
~~~~
"Sudahlah kau tidak perlu seperti itu" sambut temannya ketika menghampirinya ditempat duduk, sambil mengacak - ngacak siaran televisi yang tidak berguna.
"Apa kau tidak punya keinginan?" tanyanya pada sahabatnya itu.
"Tentulah ada, aku ingin kaya!" jawab perempuan itu dengan tawa yang menggelegar.
"Itu bukan keinginan yang bagus" jawabnya lirih, dengan wajah yang mendongak kearah televisi.
"Lalu?" kata perempuan itu dengan dahi yang mengekerut, "Apa keinginanmu Dinda?"
"Aku ingin jadi Kartini!" Dinda menyimpul jawabnya dengan senyum tersungging.
"Jangan bercanda!"
Mereka tertawa bersama, seolah tawa cukup menghibur segala keinginan yang tidak terwujud pada diri manusia, dan mereka menggunakan cara itu dengan sempurna, Terawa.
Di tengah suasana bosan dan lelah karena tawa yang menguras tenaga, mereka kemudian terdiam bersama memandang berita tentang seorang perempuan lain, dengan kehidupan dan keinginan yang berbeda, sedang berjalan ringan, menggandeng tas bermerk, juga busana dan gicu yang cukup terang ditengah ramainya cahaya redup perempuan - perempuan lain.
"Itu Kartini!" sontak Dinda menyahut sahabatnya dengan memukul - mukul paha perempua disebelahnya itu.
"Kartini? bukan itu bukan Kartini, itu Martini!" jawab teman sebelahnya dengan sedikit gaya ejekan.
"Itu Kartini, Kemarin ia disebut Kartini oleh salah satu stasiun televisi, dan namanya Kartini sekarang, bukan Martini" balas Dinda dengan wajah keriangan.
"Baiklah, terserah kamu, dan sebaiknya kamu berobat ke dokter, mungkin kamu terkena penyakit"
"Aku tidak perduli, aku hanya ingin melihat Kartini, tidak, aku ingin jadi Kartini selanjutnya!"
"Kau sudah gila teman!"
~~~~
Malam Keempat.
"Apakah itu kau?" tanya Dinda memastikan sesuatu ditengah kegelapan.
"Ya ini aku!" suara itu sedikit jauh dari telinganya, namun lamat - lamat ia bisa mendengar baik suara itu.
"Suaramu berubah?" tanya Dinda.
"Jangan bercanda, aku tidak punya waktu" suara itu semakin jelas, seperti mendekati telinga dan ingin mengehembuskan desir angin ditempat itu.
"Apa kau ingin mendengar permintaanku?" sanggah Dinda.
"Sudah kubilang, aku tidak punya waktu, ayo cepat!"
"Aku mohon, dengarkanlah dulu" Dinda tiba - tiba mengapit kedua tangannya kedada, seperti sedang berdoa.
"Baiklah, baiklah!" Kata suara itu dari balik kegelapan dinding - dinding hitam kamar itu, "Katakanlah"
"Aku ingin jadi Kartini!" suara Dinda menghalus, pelan seperti desir angin pantai, "Bolehkah aku jadi Kartini?"
Suara itu menghilang, sampai matahari kembali muncul, dan ia memutuskan untuk tetap menunggu hingga malam kembali menemaninya. ia berfikir tentang permintaannya, ia berfikir tentang apa yang seharusnya diwajibkan sebagai seorang Kartini, ia berfikir, tentang busana apa yang dikenakan seorang perempuan seperti dimimpinya itu, ia berfikir, apakah ia kurang cantik untuk jadi sosok seperti yang di dongeng - dongengkan itu.
malam kembali tiba, dan ia bersiap untuk mengaih janji, ia kini seperti malaikat maut, tak akan menyisakan belas kasihan pada suara yang datang ditelinganya, ia bersumpah.
"Aku datang lagi" suara itu muncul.
"Aku sudah menunggu!" jawab Dinda begitu tenang, seperti kehilangan hasrat.
"Aku sudah berfikir soal permintaanmu semalam" balas suara itu perlahan mendekatinya.
"Lalu?" Dinda terhenyak dengan pernyataan itu.
"Tidak mungkin!"
"Kenapa?" Bentak Dinda.
"Iya tidak mungkin" suara itu menghalus ditelinganya.
"Kenapa? aku juga perempuan, apa bedanya!"
"Sudahlah, cepat layani aku, sudah kubayar sewamu!"
"iya, tapi kenapa?" Dinda memburu kepastian.
"Karena mimpi seperti itu hanya pantas untuk orang kaya, sadarlah!"
"Baiklah, cepat selesaikan urusanmu disini, lalu pergi!"
"Aku sudah membayarmu!" balas suara itu mendesirkan angin ditelinga Dinda, seperti menghembuskan dendam dan kotoran yang tidak mungkin ingin dilihat oleh orang - orang yang bermimpi ingin jadi Kartini.
"Buang mimpimu itu, ketempat sampah jalang!" suara itu menghilang melewati dinding hitam, menyisakan dendam yang meradang di dada Dinda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI