"Aku sudah bilang berkali - kali padamu, aku ingin Kartini!" bibirnya melengkung ke kanan atas, sengaja ia mengantar kata - katanya dengan raut jengkel pada suara serak itu.
"Hemm!"
"Kenapa?" bentakan itu seperti kilat yang menyambar air dari mulut Dinda, seperti meludahi suara yang menggema lewat dinding kamar yang menghitam dengan sengatan listrik, "Kalau tidak sanggup, pergi sana, dan jangan ganggu aku lagi!"
Suara itu menghilang tanpa jejak, sementara sepat masih mengganjal ditenggorokannya. Dengan malas ia bangkit dan berkeliling mengitari seisi kota, malam itu langit juga serasa licik bersepakat menambah - nambah bebean gundahnya, mendung dan rintik mengguyur daun - daun Quercus, serta desir angin yang menyelimuti perempuan itu dengan dingin dan tanda tanya besar, "Apakah aku tidak pantas jadi Kartini?"
~~~~
Pada hari lain, ditengah suasana nomor kalender yang memerah, ia menghabiskan waktu di depan televisi, matanya serius memandang kearah layar yang sebenarnya lebih banyak bercerita tentang kebohongan dari pada kenyataan, tapi ia tak peduli, cerita tetap kebohongan, dan ia tak percaya pada televisi, ia hanya percaya pada gambar yang bergerak serta tulisan besar yang seolah memaksanya untuk tak berkedip, "Kartini, Pahlawan Perempuan!"
Seorang perempuan berbusana anggun keluar melewati kerumunan orang, juga cahaya seperti kilat yang masuk ketengah ruangan besar, itu Kartini, dalam hatinya berkata. Matanya mematung ke arah layar tak ada kata yang keluar dari mulutnya, kecuali senyum yang mengiris wajah manis khas perempuan berwajah bulat dan berhidung mungil, dengan dagu yang indah seperti pahatan seorang arsitek ternama.
Sesekali teriakan keluar spontan, melompat dari tenggorokannnya yang selalu menggemakan suara lengking. Ia begitu senang melihat seorang perempuan yang berada disana, dibalik layar televisi, dengan wajah putih, cantik, serta busana yang nampak cukup mahal baginya.
Malam Ketiga.
Suara itu tak datang menghampirinya, ia kesal bukan main, bibirnya kembali melengkung kekanan atas, tak ia percaya betapa pecundangnya suara itu, "Dasar sialan!" umpatnya dalam hati. Sebelum malam datang, ia telah mempersiapkan segala permintaannya jika saja suara yang selalu datang ditelinganya, sebuah gaun, sepaket pemutih wajah, dan tentu penonton dan berbagai macam kilatan seperti yang baru saja ia saksikan lewat televisi siang itu.
Akan tetapi suara itu tak kunjung datang hingga pagi ia terjaga dari tidurnya, dan ia tetap kesal.