Suara anak itu hanya membuatnya semakin gusar, di rogoknya kembali kantung celana hitam yang dipakainya, diraihnya beberapa koin logam dari sana, lalu diserahkan pada anak kecil itu. Sebelum uang itu jatuh di genggaman pengamen kecil yang nampak tak terurus itu, ia kemudian memandang dalam - dalam wajah anak itu, sebuah kisah kembali terngiang di kepalanya.
"Sebelum aku memberimu ini, maksudku uang koin ini, kau harus memberiku sesuatu yang lebih baik dari suara cemprengmu itu"
"Apa itu" tanyanya pada pemuda kusut yang duduk di depannya.
"Doa!" katanya pada pengamen kecil itu. Beberapa saat sang pengamen terkejut lalu mengembalikan perasaannya seperti semula.
"Baiklah!" kata pengamen cilik itu, "Ya Tuhan, semoga kakak ini cepat mendapatkan jodoh"
"Bukan begitu maksudku!" sambungnya setelah mendengar doa yang sudah akrab di telinganya itu.
Sang pengamen berjalan gontai, direbutnya recehan koin dari tangan pemuda itu, lalu perlahan meninggalkannya ke arah yang lain.
"Maafkan aku om!" kata pengamen kecil itu dari suatu jarak, "Aku hanya tau satu doa, dan sudah kuberikan padamu"
Beberapa saat kemudian suasana menjadi sepi. Hari mulai gelap, di detik - detik senja ia kembali menaruh perhatian pada bingkisan merah jambu di tangannya. Tak berani ia buka bingkisan itu, hanya ada sebuah nama tertulis di atasnya, dan hanya ia yang mengerti arti nama itu untuk dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian datang seorang pemuda lain, dengan rambut gondrong, baju compang - camping, juga gitar yang tergantung di punggungnya, semakin dekat ia bisa memastikan lelaki itu pasti seorang pengamen, pengamen yang lebih dewasa, dan mungkin lebih memiliki banyak doa dari sebelumnya. ia tak ingin kehilangan kesempatan itu, digenggamnya erat - erat bingkisan merah muda itu, lalu di hentikannya langkah kaki pengamen itu.
"Aku sedang istirahat" kata pengamen itu, "dan aku juga belum ingin bernyanyi!"