[caption id="attachment_203767" align="alignleft" width="150" caption="Sumber: google.coom/images"][/caption] Ini cerita pengalaman nyata, bagaimana rasanya kehilangan benda berharga yang selalu setia menamani perjalanan mencari nafkah lahir, bukan nafkah batin. Tapi ini benar-benar membatin dan rasanya mampu meremukkan tulang belulangku. Motor hilaaaaang! Seperti biasa saya biasa bertengger (maksudnya seperti burung) di lantai lima, salah satu gedung yang dibuat kantor — bukan gedung perkantoran– di Menteng, Jakarta Pusat untuk nyangkul sehari-hari demi membangun "negeri". Saat memasuki gedung, udara hari itu tidak seperti biasanya, cerah sumringah. Lalu lalang karyawan karyawati saat berpapasan begitu segar, harum baunya. Mata ini pun jadi cerah dan menyumringah juga Singkat cerita, jam 16.00 WIB saya pulang bersama kawan, meluncur dari lantai lima langsung ke parkiran untuk mengambil motor. Tiba-tiba alam jadi gelap gulita, dadaku tersengat sembilu, jantungku dag-dig-dug tak sesuai irama. Sebab motorku tidak menampak di tempat parkir biasanya. OOH MOTORKU HILAAAAANG! Tanya-sana-sini tidak mengerti. Yah, musnah sudah motorku diembat maling, gumamku. Akhirnya dibikin hebohlah seluruh pengelola gedung: polisi, satpam, kepala gedung, bagian administrasi, tukang-tukang ojek sekitar gedung, para supir penunggu bos-bos dan pedagang-pedagang sekitar gedung dst. Heboh pokoknya. Karena dalam sejarah tercatat, di gedung berniali bersejarah itu belum pernah kehilangan motor/mobil hingga saat ini. Lemas lunglai syaraf tubuhku. Remuk ringsek tulangku, terbayang anak isteri di rumah betapa sedihnya, terbayang mertuaku yang bangga akan melongo. Wajah-wajah orang yang kusayangi akan berubah galau. Motor baru tanpa asuransi itu harus terus dicicil hingga 10 panen kali panen jagung. Bagaimana bisa mencicil kalau motor kebanggaan keluarga ini raib di colong maling. Tangisku dalam batin. “Ya Allah, apa dosa saya” *** Sebuah tragedi yang konyol menimpaku itu akhirnya berakhir di ujung kehampaan dan kepasrahan. Karena mencari ke sana kemari tidak ketemu. Akhirnya tidak jauh sekitar 3 km saya bersama si bajaj bajuri menuju ke Polsek Menteng Jakarta Pusat, memenuhi prosedur kehilangan. Saat menuju kantor polisi, masih di dalam bajaj, berusaha tenang. Berusaha menutupi kegalauan atas peristiwa yang tidak disangka-sangka itu, kaget sekali! Batinku bergolak dan terus menyalahkan diri sendiri. Habis mau menyalahkan siapa? Saya memang tidak hati-hati, tidak dikunci dengan gembok 10 biji; tidak merantai motorku dengan rantai kapal; tidak membayar satpam untuk khusus melototi dan menjagai motorku. Di sisi lain, juga saya merasa kurang dalam berbagai hal: ibadah pribadi maupun ibadah sosial. Karenanya, dalam ketidak mengertian itu, saya berusaha untuk tenang dan menerima apa yang terjadi. Inikah saatnya giliran saya diuji?. Gumamku berkali-kali. Pergolakan batin itu terus berkecamuk dan saya beritahukanlah guru spiritualku. “Tadz, baru saja saya kehilangan motor” “Masya Allah, Benarkah?” “Ya benar!” Masa sama guru berbohong sih, sergahku dalam hati. “Seperti biasakah parkirnya?” “Ya benar, parkir di tempat biasanya.” Jawabku mantap dan berusaha tenang tanpa terkesan kecewa. “Duuh sayang sekali motor segede itu bisa hilang” jawabnya mengahiri pertanyaanku. “Lah, mobil saja bisa hilang, motor juga dong” sanggahku dalam hati. Bajai yang kunaiki itu kini, telah sampai di pintu gerbang kantor polisi. Tiba-tiba saya langsung teringat dengan jelas gamblang bahwa motorku tertinggal di warung Nasi Padang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H