Mohon tunggu...
Muhamad Kurtubi
Muhamad Kurtubi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar di pendidikan nonformal, Ketua PKBM Edukasi Jakarta

Menulis itu mudah yang susah mempraktekannya. Mempraktekkan itu mudah kalau sudah banyak menulis... Jadi sering-seringlah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polarisasi Kyai Kampung dan Kyai Kampus

24 Juli 2010   05:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:38 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_203161" align="alignleft" width="300" caption="Toni Blair di Pesantren sumber: pesantren"][/caption] Sekal-kali membuat catatan seputar pengalaman di pesantren. Saya punya kyai sekaligus memiliki dosen di perguruan tinggi. Kalau dipesantren disebut kyai kampung dan di perguruan tinggi saya sebut kyai kampus. Meski tidak semua pesantren, ilmu yang diajarkan di pesantren memang sarat dengan muatan kearifan, akhlaq dan ketulusan sehingga antara guru-murid tejalin hingga kapanpun. Tetapi berbeda dengan sistem "pendidikan modern"  yang dikembangkan di sekolah umum dan kampus-kampus. Di mana kaitan guru murid tidaklah seerat di kampung. Sebutan kyai dalam tradisi pesantren merupakan figur yang selalu dihormati, dikagumi dan dimulyakan. Sebab di sanalah estafet ilmu pengetahuan diperoleh. Namun bagi tradisi keilmuan modern, se'alim apapun seorang guru di sekolah atau dosen di kampus, tidak mendapat penghormatan ala pesantren. Misalnya dicium tanganya saat bersalaman, dihormati keluarganya, dihargai sikapnya, dan diikuti nasehat-nasehatnya. Kyai kampung memiliki hubungan erat dengan muridnya, sementara kyai kampus sebatas komunal.

Mereka disebut kyai tidak ada korelasi karena tingkat eknomoi. Sebab Insya Allah ada banyak pesantren dan kyai yang menerapkan ilmunya tidak semata-mata eknomi. Jangan lupa, banyak sekali kalangan santri didikannya yang tidak membayar ongkos pendidikannya. Contohnya, saat penulis mondok di Buntet Pesantren adalah jenis "santri gratisan". Menikmati fasilitas hidup di pesantren secara gratis, sementara penulis dibebaskan mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu di sekolah formal. Sebuah fenomena langka dalam tradisi keilmuan modern.

Ruh  Ilmu

Pesantren justru lahir karena kharisma para guru di dalamnya. Sehingga kyai merupakan figur yang melatar belakangi eksistensi sebuah pesantren. Walaupun belum ada penelitian, tapi bolehlah jika ada sebuah asumsi mengatakan: apakah benar, semakin alim (mumpuni) ilmu seorang kyai, semakin kuat daya pikat bagi santri-santrinya. Sebaliknya, semakin kurang mumpuni ilmu yang dimilikinya, akan berdampak pada daya pikat (kharisma) seorang kyai.

Meskipun asumsi di atas sangat lemah, dan mudah dibantah, setidaknya, asumi ini, bisalah dijadikan bahan obrolan dalam tulisan ini. Hal ini bisa disamakan dengan mutu sebuah sekolah (perguruan) yang jor-joran promosi dan dibuat menarik, meski mutunya tidak diperhatikan, maka pada awalnya sekolah akan ramai dikunjungi murid-muridnya. Namun bisa saja, sekolah akan bubar dan sepi peminat, jika mutunya (kedalaman ilmu) tidak diperhatikan dengan serius.

Intinya, ruh sebuah perguruan baik modern maupun tradisional adalah pada mutu pembawa pesan. Jika "ruh ilmu" itu dipertahankan, maka kehidupan akan terus mewujud. Sebaliknya, akan sakit dan kembang kempis manakala ruh itu "ogah-ogahan" dipupuk. Tidak jarang pesantren itu ramai oleh santri jika di sana terpola sebuah "ruh ilmu" yang mewujud dalam diri tokohnya maupun pada manajemen lembaganya. Sebaliknya, tidak jarang pesantren yang diasuh tanpa "ruh ilmu" akan sepi peminat.

Paramater Alim

Sulit sekali mengukur kealiman (kedalaman ilmu) seseorang. Tetapi setidaknya, asum­si umum patut diper­tim­bang­kan. Misalnya, menurut pandangan umum, ukuran kealiman itu bisa diperoleh manakala kyai itu memiliki karya tertulis ataupun karya tertutur. Hal lain, bisa dilihat dari tingkah laku dan prilaku kesehariannya. Di samping itu berbagai kepedulian dan kearifan dalam menyikapi persoalan. Hampir setiap orang dengan mudah melihat bagaimana akhlak seorang yang dianggap "cerdik pandai" itu. Nah, sikap-sikap pembawaan seorang kyai ini setidaknya dapat melabeli "alim" atau tidaknya seorang kyai.

Atau secara spesifik asumsi umum itu bisa diurai: pertama, dari karya-karya yang diterohkan dalam berbagai tulisannya. Apakah diakui oleh kalangan ilmuan lain ataupun tidak; membawa manfaat secara umum atau tidak; memberikan khasanah (kekayaan) baru dalam bidangnya atau tidak; dan membawa pesan perubahan prilaku mulia atau sebaliknya.

Kedua, jika tidak ahli dalam menulis, tetap bisa dikategorikan kyai kampung yang alim. Hal itu bisa diukur misalnya dalam setiap "ilmu tutur"-nya. Bagaimana ia menuturkan dan menjelaskan berbagai persoalan dari sudut pandang ilmu yang dikuasainya: apakah konprehensif (mencakup) atau tidak, membawa kepentingan golongan atau pluralis, membawa kedamaian atau sebaliknya, menetramkan atau menggelisahkan, membawa pesan kepedulian atau pengabaian, menciptakan sinergi etika atau anti-etis, membimbing individu masyarakat atau justru mengambangkannya.

Ketiga, wilayah privatnya. Maksudnya adalah kedekatan interaksi vertikalnya. Di kalangan santri, ada pemahaman secara umum, bahwa kyai yang memiliki kedalaman rohani, biasanya karena interval vertikalnya sangat rapat, ditambah wawasan keilmuannya yang komprehensif. Disamping itu, inverval horizontalnya pun juga rapat. Ibarat gelombang FM (frekuensi modulation) akan lebih jernih ketimbang gelombang AM. Hal itu karena FM memiliki karakter gelombang yang modulasi dan intervalnya sangat rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun