[caption id="attachment_191514" align="alignleft" width="150" caption="Masjid PP Tapak Sunan"][/caption] Bagaimana mungkin pesantren bisa bertahan di Jakarta dengan tarif bulanan untuk murid baru hanya Rp. 375 ribu rupiah. Biaya itu sudah termasuk makan 2 kali sehari, biaya penginapan dan biaya SPP untuk sekolah formal. Termasuk biaya keamanan, kebersihan biaya guru dan lain-lain. Kok bisa? Ya ampun, saya jadi semakin penasaran, bagaimana mungkin bisa bertahan dan apakah pesantren ini kumuh, sembarangan dalam mengelola anak santrinya atau pendidikanya asal-asalan saja yang penting bertahan? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti penelusuran saya siang kemarin (11/7) di pesantren Tapak Sunan, Jakarta Timur yang kebetulan ada ada teman waktu sekoalh di kampung dan kini ia menjadi guru di sana. Pesantren yang ada di Jalan AMD Balekambang 28 ini cukup luas dengan dikelilingi pagar tembok namun tetap terbuka untuk umum. Sebab di dalamnya ada masjid besar untuk shalat warga kampung. Di depan masjid tedapat alun-alun seukuran kira-kira setengah lapangan bola. Bagian belakang dari alun-aluni ini merupakan bangunan inti pesantren yang cukup megah terdiri dari bangunan asarama putra, asrama putri, satu blok gedung MTs (SLTP) dan satu blok Madrasah Aliyah (SLTA). Masing-masing gedung berlantai dua dengan fasilias perpustakaan dan ruangan Lab Komputer. Di bagian belakang asrama tanahnya masih cukup luas, dan ditanami sayuran dan pohon jati. Rupanya, KH. Nuruddin Munawwar yang asli orang Cirbon ini menyenangi lingkungan asri pesantren. Sebab banyak pepohonan hiasan di dalam pesantren [caption id="attachment_191804" align="alignright" width="150" caption="tampang santri putri, dalam sebuah acara di dalam pesantren"][/caption] Bangunan yang tidak kalah menariknya adalah rumah pengasuh dengan gaya mediteranian, dua buah rumah ini menjadi tempat istirahat pengasuh dan keluarganya. Paling tidak saya melihat ada 2 buah mobil sedan, mereknya saya tidak mencatat. Saya tahu itu milik pengasuh. Karena banyak pula mobil-mobil lain diparkir di alun-alun asrama. Kebetulan saat itu memang tengah ramai dikunjungi calon santri baru dan orang tua yang mengantar anaknya untuk daftar ulang. Saya masih penasaran untuk melihat apakah tempat santri layak dihuni, saya minta izin untuk memasuki ruangan dalam santri putri. Bersamaan dengan para orang tua santri baru, saya masuk untuk melihat kelayakan kamar tidur santri. Bangunan asrama sangat bersih, karena dijaga selalu oleh petugas kebersihan khusus. Mereka yang baru masuk, mendapat fasilitas kasur dan satu buah lemari, baju rok, baju olahraga, dan batik. Kamar santri putri yang saya lihat cukup besar ukurannya 4 x 4 meter. Satu kamar dihungi oleh sekitar 10 santri putri. Ruangan santri memang tidak ber-AC namun saya meraskan desiran udara condet yang segar. Bangunan dibuuat sedemikian rupa dengan memperhatikan aliran udara. Bangunan yang berada di sebelah kiri asrama, terdapat sederetan kamar mandi yang tak satupun saya lihat sampah bertengger. Keramik yang menempel di diinding kamar mandi pun terlihat licin dan tidak kusam. [caption id="attachment_191806" align="alignleft" width="150" caption="Gedung MTs Tapak Sunan"][/caption] Full Fasilitas Setelah jalan-jalan di komplek pesantren saya mendapat jawaban kalau pesantren ini memiliki fasilias yang tidak jauh dengan pendidikan formal milik pemerintah. Padahal ini dikelola oleh Yayasan Ittihadul Anwar sebagai payung hukumnya yang diketuai oleh KH. Nuruddin Munawwar, kyai yang berasal dari kampung tempat saya lahir Buntet Pesantren - Cirebon. Yang saya tidak habis pikir, kenapa fasilias yang cukup besar ini, pesantren memberikan tarif bulanan kurang dari 400 ribu. Kalau dihitung makan sehari dua kali saja, dengan asumni sekali makan lima ribu, maka total sebulan adalah @Rp. 5000 x 2 x 30 hari = Rp. 300.000. Nah loh, terus bagaimana bisa bertahan untuk menghidupi karyawan asarama, pengasuh juga biaya pendidikan salafiyah dan pendidikan sekolah? "Biaya segitu bisa bertahan kok, bahkan guru-guru mendapat honor standar dengan sekolah lain, santri mendapat makan menu sederhana, yang dijamin memenuhi standar 4 sehat lima sempurna dan mendapat bimbingan sekolah dan asarama 24 jam serta penginapan." "Loh kok bisa sih, bagaimana caranya, wong biaya makan saja bisa 300 ribu sebulan itupun dengan asumsi harga 5000/persi, yang benar aja kang?" "Ya, kan pesantren tidak menghitung sekali makan dengan harga segitu, tapi sekali memasak bersama jatuhnya bisa murah meriah. Di sinilah kami menerapkan kebersamaan bukan harga individualis" [caption id="attachment_191807" align="alignright" width="150" caption="Rumah pengasuh"][/caption] Kurikulum Seperti pesantren pada umumnya di seluruh pulau Jawa yang dikelola warga Nahdhiyin, Kurikulum untuk pendidikan formal (MTs dan MA) mengacu kepada standar pendidikan nasional di bawah Departemen Agama. Sedangkan kurikulum pesantren (salafiyah) juga diatur oleh Dinas Pondok Peesantren Depertemen Agama RI dipadu dengan cara khas pesantren. Guru-guru yang mengajar kebanyakan lulusan sarjana pendidkan dan sarjana dari pesantren untuk menangani pendidikan khas pesantrenya. Singkat cerita, saya masih tetap memendam penasaran kenapa pesantren memungut biaya rendah kepada santri-santrinya. Ternyata, ini sudah lumrah. Sebuah pesantren khusus putri Al Kenaniyah yang tergolong bangunannya cukup megah di Jakarta Timur juga saya tanya, malah lebih murah biaya bulanannya. Di Pesantren yang diasuh warga asli Betawi ini hanya memungut 250 ribu/bulan, sama dengan biaya pesantren yang ada Buntet Pesantren - Cirebon. [caption id="attachment_191810" align="alignleft" width="150" caption="Green pesantren"][/caption] Tidak heran juga jika semangat cinta kepada pendidikan bagi kalangan terbatas juga diperlihatkan oleh kiprah As Syekh Habib saggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim (Haabib Segaf), kawan akrab Gus Dur. Mendirikan pesntren Nuru Iman, yang didirikan 16 maret 1998 dan lebih dari 7000 santrinya dibebaskan untuk makan, bertempat tinggal dan belajar formal, keterampilan hingga ke perguruan tinggi di . Ini sangat kontras dengan pesantren besar full modern facility, Az Zaitun yang diasuh oleh Abu Toto (bukan warga Nahdiyin?) yang berada di Wilayah Haurgeulis, Indramayu, dengan memungut biaya puluhan juta rupiah. Kalau bukan karena cinta kepada dunia pendidikan mungkin pesantren tidak akan bisa bertahan. Jadi benarkah bahwa pesantren bertahan karena satu C-I-N-T-A. Salam kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H