[caption id="attachment_208174" align="alignleft" width="300" caption="hati nurani akan tumbuh subur bila dipupuk.        Sumber; google.com/images"][/caption] Kawan saya bercerita kalau dirinya punya tetangga yang kontras. Satu berlabel agama sangat ketat baik pakaian maupun pekerjaanya sebagai guru agama. Satu lagi tetangganya perantau dari Jawa, belajar agama mungkin sekali-sekali pernah. Namun itu loh, halus dan sopan santun terhadap siapapun, semangat membantu orang lain begitu besar, dan kalau berpapasan dengan orang lain punya jurus S3-B (salam, sapa, senyum plus membungkuk). Lalu dia berpandangan bahwa yang bukan guru agama itu sangat bermoral, sementara yang guru agama yang suka marah-marah di depan umum itu tidak bermoral. Lalu dia bertanya, sebenarnya apa sih moralitas itu dan kenapa gak nyambung dengan pelajaran agama? Lalau kalau bukan guru kepada siapa ktia bisa belajar moralitas? Grogi dan serba salah dan untuk menutupinya, nyengir-nyengir gak karuan saat di tanya begitu. Kok nyengir, ya sebab sulit menjawab dengan mudah. Karena merasa saya yang Pesantren pun juga menjadi warga biasa-biasa saja bahkan terkadang merasa paling benar dan paling bisa dalam hal materi agama. Ini benar-benar penyakit. Tapi fakta yang diungkap oleh temanku itu membuat saya berpikir dan bertanya. Siapakah guru dari moralitas itu? Apakah hidup bermoral perlu guru dan pembimbing seperti olah ragawan atau penyanyi. Lalu siapa yang berotoritas mengajarkan moralitas? Apakah Tuhan, utusanNya lewat sabda-sabdanya atau guru-guru moral yang ada di mana bisa kita dapatkan. Salah! menurut saya guru moral itu adalah diri kita sendiri. Mari saya tunjukkan fakta-fakta  ironis yang ada di jagat raya ini.
Fakta pertama, Kenapa banyak orang yang hidup di negara yang agamis tapi tidak bermoral, dan kenapa ada banyak orang bermoral di negara yang "non agamis". Bahkan atheis sekalipun, moralitas tetap menjadi pijakan untuk kehidupan bersama. Ini artinya, Agama dan moralitas tidak langsung "nyambung".
Fakta kedua, kenapa banyak orang yang semakin makmur hidupnya justru semakin "haus" akan kekuasaan dan harta. Demikian juga mereka yang semakin tidak berkecukupan pun banyak yang potensi destruktifnya tinggi. Ini artinya, moralitas dengan harta tidak nyambung. Fakta ketiga, kenapa banyak ditemui kasus, pelanggaran moralitas juga dilakukan oleh orang yang dianggap memiliki otoritas moral. Dalam agama manapun kasus ini kerap ditemui. Demikian juga, orang yang belajar apa adanya, namun keluarganya tetap harmonis, anak-anaknya hidup manis dan tingkah laku pergaulan di masyarakatnya pun sangat humanis. Ini berarti antara ilmu dan praktek di lapangan tidak langsung nyambung. Fakta keempat, dalam komunitas yang lebih luas, negara-negara yang penduduknya tidak mempermasalahkan agama, banyak yang hidup nya menjunjung moralitas: kejujuran, tingkah laku teratur,masyarakat yang menghargai hukum dan juga menyukai keindahan dan kemanuisaan. Sedangkan hal itu jarang ditemui di negara yang mayoritas penduduknya sangata kuat memegang prinsip-prinsip keagamaan. Ini berarti, negara dan kualitas beragama penduduknya tidak nyambung dengan kemajuan poda civil society.
.... dan masih banyak yang lainnyaa.... 135 juta.... dst. (sambil menirukan lagu Rhoma Irama).... Moralitas yang saya maksud adalah akhlak akan terwujud manakala kita sendiri telah mempersiapkan hidup menjadi bermoral. Bahkan menurut saya sangat mudah orang menjadi bermoral dan beretika dalam hidup bermayarakat. Masa sih menjadi bermoral itu sangat mudah, Betul, bahkan tidak perlu guru sekalipun untuk menunjukan mana moral tinggi dan mana moral rendah. Cukup diri sendiri sudah bisa memahami itu semua. Saratnya hanya satu: tahu diri! Maksudnya, mengetahui apa karakter moral yang ia ingini. Misalnya tidak mau menjadi pencuri. Maka katakan saja saya tidak mau menjadi pencuri di manapun dan kapanpun! Maka kalau kemudian dia sudah mengucapkan itu, dan ia tahu dengan se sadar-sadarnya bahwa dia tidak mau menjadi pencuri, otomatis, ketika ada uang di jalan sekalipun ia tidak akan mau mengambilnya. "Biarkan saja orang lain yang mengambil kalau saya, tidak mau!" Siapa mengenal dirinya, pasti akan mengenal penciptanya, siapa yang mengela penciptanya maka ia akan diajari ilmu-ilmu yang tidak ia ketahuai sebelumnya. Itulah kuncinya. Satu lagi, Nabi bersabda, istaftee qolbaka, mintalah nasehat dari dirimu sendiri. Kalau sudah begini, saya jadi paham, kenapa banyak di negeri berpenduduk agamis tetapi berperilaku maling. Dan itu bukan karena gurunya tidak ada, bukan karena ayatnya kurang, bukan karena hukumnya tidak tegas atau karena tanahnya tidak subur. Tetapi hanya satu orangnya! sekali lagi orangnya yang tidak punya hati nurani. Aku berlindung dari semua itu! Salam Kompasiana Kurtubi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H