[caption id="attachment_238466" align="alignright" width="295" caption="Jika agama itu software. Sumber: situs-bisnisku.co.cc"][/caption] Jika agama adalah software, maka yang perlu diperhatikan adalah kerja dari software itu sendiri, ia mampu menciptakan tampilan multi dimensi dan atau prinout bagaimana perilaku manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan juga dengan alam semesta. Semakin hari semakin bagus. Postingan ini terinspirasi dari Laura Kuncoro, Saat komentar saya dicap sebagai orang IT karena dalam postingannya yang berjudul "Ini Agama Terbaik!!!" (dengan tanda seru tiga!) saya berkomentar bahwa agama itu hanyalah "software", print out dari agama itu sendiri adalah bagaimana manusia semakin hari semakin baik dalam membina hubungan dengan Tuhannya, dengan manusia dan dengan alam. Maaf kalau ini dianggap pikiran nyleneh, saya harap jangan dianggap serius, karena tulisan ini masuk astul (asal tulis). Kalau agama adalah software, butuh produsen, importir, distributor, main distributor, agen tunggal dan reseller serta ritail. Software didistribusikan ke segenap user di manapun. Di mana ada pasar yang potensial, akan banyak peminatnya. Tapi jangan lupa kalau software itu laku keras, waspadalah terhadap pembajak software itu. Kalau agama adalah software, maka masing-masing resellernya akan terus bersaing dan terus mempengaruhi para client. Para pelanggan adalah orang-orang yang harus dibela jangan sampai jatuh ke produk lainya. Maka reseller terus beriklan, mempengaruhi dan menjatuhkan software lainnya, pasang iklan di mana-mana untuk mengunggulkan softwarenya, hingga sampai kepada gerakan black market. Ada yang menyewa nija, ada yang menyewa pasukan berani mati. Kalau agama adalah software, para resellernya ada yang licik, ada yang santun, ada yang ceroboh ada main harga seenaknya. Software dijual semurah mungkin, ada yang menjualnya semahal mungkin. Dengan gaya promosinya software dikemas dengan berbagai macam model, ada yang bundled, ada yang di jual eceran. Kalau agama adalah software, ilmu pemasaran yang dimiliki para marketingnya macam-macam. Ada yang hanya dari tokoh pemasar sekelas Hermawan Kertajaya, ada yang mendunia seperti Philip Kotler. Ada pula yang trial and error. Brand image terus didengungkan bersaing di dunia maya, bersaing di dunia nyata. Bahkan sepakat semuanya mengatakan kalau softwarenya itu adalah yang nomor satu. Kalau agama adalah software, tentu ada manfaat yang sangat luar biasa dari software ini. Buktinya kenapa banyak terjadi black marketing, kenapa sampai banyak yang mati demi membela peredaran software ini. Ini pasti karena software ini adalah sangat berguna bagi sebuah proyek yang sangat mahal. Ini pasti ada sesuatu yang sangat berharga dari software ini. Sekaligus juga mengandung kehawatiran yagn luar biasa jika ada orang yang berganti menggunakan softare ini. Kalau Bill Gates dengan software Windownsya, dan Linus Torvade dengan software Linux-nya berhasil membawa dunia ini menuju dampak yang luar biasa pesatnya, menuju abad kemajuan dalam berbagai bidang kehdupan, mestinya kalau agama dianggap software tentu dampaknya melebihi dari sekeder software Windows dan Linux Jadi, masihkah ada yang menggap kalau Agama adalah software? Salam lapar dan haus.... Kurt Postingan lama: Simbol Nasionalisme dan Agama Mulai Berubah? Postingan Kompasioner: Postingan Kompasioner lain: @Della Ana: KRI Dewaruci Merapat di Pelabuhan Amsterdam - Belanda 2010 @Hasmi Srondol: Menulis untuk Mencari Nama? Jangan! @Ragile : Topeng Siti Topeng Reena @LH : Ganti dengan ‘hati’ yang Baru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H