Berbicara mengenai sepakbola profesional, tentunya tidak akan lepas dari referensi ke liga-liga profesional yang telah maju. Eropa masih menjadi kiblat dari sepakbola profesional. Hal ini diperkuat dengan dimenangkannya Bosman ketika memperkarakan masalah perpindahan pemain kala itu. Klub-klub profesional di Eropa, walaupun tidak semua liga eropa dikenal, adalah klub-klub yang mandiri. Bagaikan mengurus perusahaan, para pengelola klub sibuk mencari sponsor, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen-manajemen yang lain. Hal ini mutlak diperlukan karena apabila level manajerial sudah bagus, tentunya akan lebih mudah menarik sponsor.
Mari kita tengok lagi ke Asia. Mampir ke Jepang dulu yuk ^^a. Sebelum tahun 1992, Jepang hanya memiliki JSL (Japan Soccer League) yang dihuni oleh klub-klub amatir. Walaupun pertandingannya dilakukan dengan skala nasional (mengingat wilayah Jepang tidak seluas Indonesia), klub-klub tersebut masih banyak yang berstatus klub-klub bentukan perusahaan.
Pada tahun 1992, J-League dibentuk oleh JFA (Japan Football Association) untuk mengurusi sepakbola profesional. Ketika dibentuk, J-League hanya diikuti oleh 8 tim dari JSL Divisi satu, 1 tim dari JSL Divisi 2, dan 1 tim yang benar-benar baru dibentuk (Shimizu S-Pulse). Total 10 tim. Hanya dengan 10 tim inilah liga profesional Jepang pertama kali dihelat. Perhatikan bahwa tim dari Divisi 2 liga sebelumnya dan tim yang benar-benar baru diberi hak yang sama untuk mengikuti J-League, selama mereka mampu memenuhi persyaratan yang diajukan pihak J-League. Tidak ada istilah berdarah-darah di sini. Semua dimulai dari nol. J-League sendiri baru resmi bergulir 5 Mei 1993.
Di tahun 1993-1995, J-League langsung booming. Animo masyarakat begitu besar. Hal ini cukup mengejutkan mengingat sebelumnya, hanya Baseball-lah yang mampu menarik minat masyarakat. Namun di tahun 1996, popularitas J-League menurun. Apabila di tahun 1994 jumlah penonton di stadion mencapai rata-rata 19 ribu orang, di tahun 1996 hanya tercatat rata-rata 10 ribu orang.
Pengelola J-League menyadari pengelolaan J-League salah arah. Pengelola akhirnya mengambil dua solusi. Yang pertama adalah J-League menghimbau kepada klub-klub untuk menggaet sponsor lokal (yang berasal dari kota home base klub) dan membangun relasi yang baik kepada kota home base agar hubungan klub dengan kota begitu mengakar. Dengan dilakukannya hal tersebut, diharapkan klub akan mendapat lebih banyak dukungan baik dari pemerintah lokal, perusahaan, maupun warga sehingga klub dapat mengandalkan sponsor lokal daripada mengharapkan sponsor nasional dari J-League itu sendiri.
Yang kedua adalah, J-League merombak model kompetisi menjadi dua divisi dengan merekrut sembilan klub dari JFL (Japan Football League) yang merupakan liga semi-profesional. Dengan demikian J-League diikuti oleh 16 tim di divisi 1, 10 tim di divisi 2. JFL sendiri turun menjadi kasta ketiga dalam hirarki kompetisi. Bahkan, dari 1997-2004, satu musim kompetisi dibagi menjadi dua bagian (yang di kompetisi lain lazim disebut putaran pertama dan kedua dalam satu musim kompetisi). Di akhir kompetisi, pemenang kedua bagian ini akan diadu lagi untuk menentukan juara dan runner-up liga. Namun karena di tahun 2002 Jubilo Iwata menang di semua bagian dan tahun 2003 Yokohama F Marinos juga menang di kedua bagian, maka di tahun 2004, sistem pembagian ini dihapuskan dan liga berjalan satu musim penuh.
Di tahun 2009-2012, kuota pemain asing dibatasi menjadi 3+1, dimana 3 slot boleh dipakai bebas dari negara manapun dan 1 slot khusus untuk pemain dari negara-negara yang tergabung dalam AFC (kecuali Jepang sendiri tentunya).
Oke, cukup mengenai J-Leage (maap kepanjangan ^^a). Sekarang kita beralih ke Singapura. Seperti halnya Jepang, Singapura juga memiliki S-League. Seperti hal-nya J-League, S-League juga melakukan reset kompetisi di tahun 1995. Kompetisi pertama dari perumusan tahun 1995 tersebut digulirkan di tahun 1996. Hingga saat ini, S-League hanya memiliki satu kasta. Tidak ada promosi maupun degradasi di S-League.
Nah. Sekarang apa yang dapat kita petik dari kedua kompetisi profesional yang mampu membawa negaranya berbicara di level internasional? Dari pengamatan saya, kedua negara tersebut berani mereset kompetisinya dari nol dan meninggalkan/menggeser kompetisi lama yang belum memenuhi kriteria profesional. Hal ini sangat kontras dengan situasi di Indonesia dimana klub-klub yang sebenarnya belum memenuhi kriteria profesional beramai-ramai menolak klub baru yang waktu itu bisa dibilang lolos verifikasi (terlepas valid atau tidaknya verifikasi tersebut. Yang pasti, dari sepengetahuan saya, verifikasi tersebut dimonitor oleh AFC). Klub-klub lama beralasan bahwa klub baru harus mulai dari kasta terbawah, tidak peduli sudah memenuhi kriteria profesional atau belum.
Menurut saya, disinilah akar masalah dari dualisme kompetisi di Indonesia. Klub-klub lama banyak yang belum berani dan tidak mau belajar untuk menjadi profesional. Terbukti dengan tindakan Ferry Paulus di Persija yang mengajak menuntut peran Jokowi maupun di Persis ketika FX Rudiyatmo cuci tangan, manajemen Persis ISL makin amburadul (patut disayangkan ketika manajemen yang amburadul malah mencengkram manajemen yang mau belajar menuju profesionalitas yang akhirnya membuat manajemen memutuskan Persis IPL mengundurkan diri dari IPL). Pengelola klub tidak berani mendobrak paradigma pengurusan klub yang sudah usang.
Untungnya, berkat keadaan sebelumnya yang cukup menghawatirkan, Persiba Bantul justru mengambil langkah realistis, yang menurut saya cukup menunjukkan semangat untuk belajar lebih profesional, dengan menggunakan pemain-pemain daerah dan membatasi kontrak untuk menghindari gagal bayar. Diharapkan dengan adanya hal ini, Persiba Bantul diharapkan mampu mempelopori bagaimana pengelola seharusnya bersikap atas kondisi real dari klub yang mereka kelola.