Mohon tunggu...
Sultan AbdulJalil
Sultan AbdulJalil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

non scholæ sed vitæ discimus

Selanjutnya

Tutup

Roman

Rasa Keluarga

19 Maret 2024   13:59 Diperbarui: 19 Maret 2024   14:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Ramai suara disertai kesedihan karena ditinggal oleh kerabat dekat. Itulah yang kudengar dari bawah tangga, sampe sekarang aku masih belum bisa menerima apa yang telah terjadi. Seketika dunia sunyi tanpa ada suara satupun, hatiku hampa seperti diterjang kesepian yang teramat sepi. Aku yang masih berumur 6 tahun ini telah ditinggal oleh seluruh anggota keluargaku. Mereka meninggal karena wabah yang menyerang kota kami. Yang bisa kulakukan ialah duduk menyendiri sambil memeluk kedua lututku, seperti yang kulakukan sekarang.

Setelah proses kremasi, satu persatu keluargaku itu pulang, kini tinggal aku seorang diri. Adalah tanteku sebelum pulang mengatakan kepadaku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku masih mau tinggal disini sejenak.

Perasaan kehilangan membuat pikiran dan mental kita tumbuh lebih cepat daripada orang lain. dua hari kemudian aku memutuskan untuk pergi dan tinggal di rumah tanteku. Awalnya kupikir aku akan Kembali mendapatkan euforia rasa kekeluargaan tetapi dalam kurun beberapa hari itu semuanya memudar, tatapan dan bisikan disekitar yang membuatku tidak nyaman. Seraya mendorongku untuk keluar dari rumah ini.

Kuingat dulu kalau ayahku sering melarangku jika ada keluarga yang lain yang ingin mengajakku menginap di rumah mereka. Awalnya kukesal bahwa kenapa aku tidak dibolehkan untuk menginap, padahal hanya sekedar numpang tidur, toh mereka juga masih keluarga. Kini kusadar maksudnya kalau yang betul betul keluarga ialah ayah ibu dan saudara saudara kandungku.

malam itu malam natal sebagai momentum untuk merasakan hangatnya rasa kekeluargaan yang telah dingin. Malam itu tak kunjung hangat malahan semakin dingin kurasa hati ini. Air mata berlinang sebagai ungkapan kerinduan kepada keluarga ku yang telah pergi. Aku mendengar ayahku memanggilku untuk menghiasi pohon natal. Bahkan tak kudengar lagi suara menjengkelkan yang biasa mendengung ditelingaku tentang hadiah yang apa yang diinginkan oleh adik perempuanku. Hidungku tak mampu lagi merasakan wanginya daging panggang yang dimasak oleh ibuku.

Kurindukan semua hal tentang malam natal dahulu, kini aku hanya bisa menonton keluarga tante ku yang sedang menikmati masa mereka. Ibaratnya aku tidak berbeda dengan lampu lampu yang dipajang di ruang tamu. Dipanggil hanya untuk makan dan disertai basa basi yang membosankan.

Bukannya aku yang secara sepihak menganggap mereka bukan keluargaku, tapi kenyataannya yang benar benar peduli dengan aku ialah yang telah pergi jauh menyebrang ke alam yang lain. sejatinya merekalah yang betul betul keluarga bukan keluarga yang bersifat semu dan bersikap semaunya karena aku sendiri.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun