Mohon tunggu...
Sultan AbdulJalil
Sultan AbdulJalil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

non scholæ sed vitæ discimus

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filosofi dari Pangan untuk Kehidupan: Kampung Cireundeu

10 Oktober 2023   21:33 Diperbarui: 10 Oktober 2023   21:39 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandangan filosofis tentang kehidupan seringkali dikaitkan dengan pemikiran tokoh-tokoh Yunani dan Eropa. Namun, terkadang, hikmah filosofis yang dalam bisa kita temukan dalam hal sehari-hari, seperti pangan. Ketergantungan pada satu sumber pangan membuka pintu untuk refleksi filosofis yang menarik. Sebagai contoh, mari kita lihat kasus beras padi di Indonesia.

Beras padi adalah pangan pokok di Indonesia, namun pasokannya sering kali tidak mencukupi kebutuhan penduduk, sehingga negara ini harus mengimpor beras padi dari luar. Hal ini menciptakan ketergantungan yang signifikan pada satu jenis pangan. Di sisi lain, ada masyarakat di Kampung Cireundeu yang memiliki pendekatan yang berbeda terhadap pangan. Mereka mengandalkan singkong sebagai sumber utama karbohidrat dan mengolahnya menjadi berbagai hidangan lezat.

Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa beras padi bukanlah satu-satunya sumber karbohidrat yang tersedia. Masih ada beragam sumber karbohidrat lain, seperti singkong, jagung, sagu, dan lainnya. Namun, pandangan tradisional di masyarakat kita telah membentuk persepsi bahwa hidangan berat harus selalu mengandalkan nasi.

Menggali lebih dalam, kita dapat memahami bahwa alam secara holistik menyediakan berbagai sumber daya untuk manusia, namun seringkali kita lebih memilih satu pilihan daripada yang lain. Ini adalah pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari masyarakat Kampung Cireundeu: menyatu dengan alam dengan memanfaatkan singkong sebagai pangan yang lebih kompleks secara nutrisi dan ketersediaannya. Mereka mengolah singkong menjadi beberapa macam olahan dimulai dari beras singkong, dendeng dari kulit singkong dan masih banyak lagi sehingga  hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat luar.

Secara geografis, Kampung Cireundeu terbagi menjadi tiga wilayah: wilayah pemukiman, hutan kebun, dan hutan terlarang. Hutan kebun masih dapat dikunjungi, meskipun dengan syarat melepas alas kaki sebagai tanda penghormatan terhadap alam. Masyarakat di Kampung Cireundeu memandang alam sebagai ibu bagi seluruh umat manusia dan makhluk hidup, menciptakan konsep unik tentang interaksi dengan alam.

Di sisi lain, hutan terlarang adalah area yang dilarang keras untuk dikunjungi. Meskipun baru-baru ini terjadi kebakaran di sana, masyarakat memilih untuk tidak campur tangan, percaya bahwa alam akan pulih dengan sendirinya.

Jadi, melalui kasus Kampung Cireundeu, kita dapat mengeksplorasi filosofi dalam pangan, ketergantungan pada satu sumber, dan hubungan yang mendalam dengan alam. Hal ini mengingatkan kita bahwa belajar dari pengalaman sehari-hari dapat memberikan pemahaman filosofis yang berharga tentang kehidupan dan cara kita berinteraksi dengan dunia sekitar kita. sebenarnya masih banyak hal hal yang bersifat filosofis yang mau saya sampaikan, tetapi hal tersebut disampaikan dalam bahasa sunda jadi tidak bisa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun