Mohon tunggu...
Kurnia Widya
Kurnia Widya Mohon Tunggu... Administrasi - Anak Jawa rasa Sunda

Sebuah pesawat terbang yang sering turbulensi

Selanjutnya

Tutup

Film

Kaseifu no Mita: Bukan Cuma Malin Kundang yang Dikutuk Ibunya

19 November 2021   13:00 Diperbarui: 19 November 2021   13:04 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

"Jangan tersenyum sampai kau mati!"

Begitu kira-kira kalimat yang keluar dari ibunya Akari Mita, seorang asisten rumah tangga di sebuah drama Jepang yang berjudul Kaseifu no Mita. Kalimat itu lebih mirip mantra sakti karena ampuh membuat Akari Mita tidak tersenyum sekian lamanya. Di awal episode, Akari Mita sempat diduga robot. Pasalnya, selain tidak tersenyum, ia sangat patuh pada perintah majikannya sekalipun diminta membunuh. Dan, sudah beberapa kali ia melakukan usaha pembunuhan sebelum akhirnya selalu dibatalkan oleh yang juga menyuruhnya membunuh. Kadang ia disangka jin. Pernah suatu hari anak-anak majikannya (Yui, Kakeru, Keito, dan Kii) bersekongkol meminta dibuatkan hamburger dengan ekstra bawang bombay. Ia diuji apakah ia akan menangis saat mengiris bawang bombay atau tidak. Dan, ternyata tidak. Bukan karena ia jin, melainkan karena momen itu terpotong oleh Akari Mita yang merasa terganggu dipantau anak-anak majikannya langsung dari balik punggungnya.

Akari Mita bekerja di kediaman Asuda Keiichi, seorang laki-laki beranak empat yang menjadi penyebab utama istrinya bunuh diri. Akari Mita datang di saat keluarga mereka sedang kacau; baik isi rumah maupun suasana hati. Bukan dengan sengaja Akari Mita membuat keluarga Asuda menjadi lebih kompak dan lebih saling menyayangi. Akibat dari Akari Mita yang terlampau patuh pada perintah, Asuda Keiichi menjadi lebih berani mengakui ketidaksiapannya menjadi ayah. Yui, Kakeru, Keito, dan Kii juga berkesempatan untuk merenungi peran mereka masing-masing dalam keluarga.

Orang-orang tentu heran dengan sikap Akari Mita yang sangat mirip dengan robot. Patuh, tak pernah tersenyum, dingin, pintar dalam segala hal, tidak takut dipenjara, tidak juga takut mati. Gerakannya membuka jaket, melepas topi, menengok, dan caranya menjawab pertanyaan bukan citra manusia biasa. Beberapa yang menonton drama ini mungkin akan terbersit anggapan yang sama: Akari Mita adalah salah satu produk artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

Informasi pribadi Akari Mita tidak pernah berhasil mereka peroleh kecuali dari Akari Mita sendiri. Dugaan mengenai Akari Mita seorang robot AI terhapuskan. Diketahui Akari Mita "terkena mantra" ibunya dari masa lalu pasca kematian suami dan anaknya. Lebih jauh ke belakang, ayahnya juga telah meninggal. Ibu Akari Mita menganggapnya bagaikan pembawa sial. Sampai akhirnya ibunya mengutuk dengan keras. "Jangan tersenyum sampai kau mati!"

Cahaya dalam hidup Akari Mita redup. Cintanya mati, harapan, impian, masa depan, nyaris tak tersisa. Ia berpikir tak boleh melakukan apapun atas kehendaknya sendiri. Karena menurutnya, semua yang ia lakukan selalu salah dan menjadi bencana. Ia harus menerima konsekuensi berat dan rasa berdosa akibat tragedi yang dialami orang-orang di sekitarnya. Dari sanalah Akari Mita memutuskan untuk menjadi asisten rumah tangga yang diketahui sebagian besar kerjanya menunggu perintah dari orang lain. Dengan begitu, ia tak perlu membuat keputusan. Apapun yang ia lakukan hanya bergantung pada apa yang diperintahkan.

Hal tersebut mengingatkan kita tentang free will. Akari Mita menghilangkan kebebasannya dalam berkehendak yang padahal sudah jadi hak istimewa manusia sejak lahir. Jika diperhatikan dari alasannya menjadi asisten rumah tangga, Akari Mita tak ingin menanggung konsekuensi, tanggung jawab, dan rasa berdosa yang lebih besar. Saat ia mencoba membunuh teman Keito, atau menuruti permintaan ibunya Tsubasa untuk membakar rumah mereka sendiri, Akari Mita tak melakukannya atas dasar kehendak sendiri. Maka, ia terbebas dari tanggung jawab. Dalam tindakannya tersebut dianggapnya sebagai kesempatan menghukum diri hingga mati.

Dari sana saya sadari bahwa tanpa adanya free will manusia ternyata terlihat lebih egois. Dengan free will setidaknya seseorang bisa bertanggung jawab atas tindakannya. Sementara tanpa free will, khususnya pada kasus Akari Mita, ia akan tetap memenuhi keinginannya --- menghukum dan bunuh diri --- yang secara otomatis letak kesalahan ada pada yang memberinya kuasa untuk bertindak. Ego menyalahkan diri sendiri lebih tinggi. Tanpa free will kita bisa lebih tak acuh pada moralitas dan abai terhadap kata nurani. Yang penting saya mati karena saya memang pantas! Padahal kita tahu nurani manusia selalu memberi sinyal positif saat tubuh akan bertindak tak baik.

Meski tak pernah tersenyum---setelah kematian suami dan anaknya---Akari Mita tetap menunjukkan sikap hormat melalui bahasa tubuhnya, seperti membungkuk ala orang-orang Jepang pada umumnya. Ia tetap mengucapkan itte rasshai-masu saat keluarga Asuda pergi, membetulkan dasi Asuda Keiichi yang miring, dan melarikan Kii ke rumah sakit saat tak sengaja tersiram air panas. Hal-hal tersebut dilakukan tanpa diperintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun