Mohon tunggu...
KURNIAWATI AGUSTIN
KURNIAWATI AGUSTIN Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Nulla Aetas Ad Discendum Sera"

Legal Research Assistant

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya Pendidikan Tinggi Bukan Hanya Sebagai Tertiary Education dalam Mewujudkan Tujuan Negara Republik Indonesia

24 Mei 2024   12:21 Diperbarui: 24 Mei 2024   12:44 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompasiana.com/kurniawatiagustin0142

3. Pemerataan Pembangunan

4. Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan.

Jadi menggolongkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, bukan sebagai public goods dalam era globalisasi sekarang ini adalah menyalahi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.

Seiring dengan pesatnya perkembangan kebutuhan sosial dan ekonomi global, tuntutan tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih baik, lebih terampil, dan mudah beradaptasi akan semakin besar. Di sinilah, orang yang melalui tertiary education lebih unggul dibandingkan yang tidak. Fakta menunjukkan (walaupun tidak selalu) bahwa, secara umum lulusan perguruan tinggi mempunyai skill, wawasan berfikir, dan kemampuan kerja yang lebih baik. Perguruan tinggi ditantang untuk dapat memenuhi harapan ini, yakni menyelenggarakan perkuliahan hingga terjadi transfer skill dan knowledge. Perguruan tinggi juga harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berfikir mahasiswa secara luas sehingga mampu berfikir holistik (menyeluruh).

Pendidikan tinggi tidak hanya bermanfaat bagi individu tersebut, tapi juga berpengaruh terhadap kemajuan kualitas hidup sebuah masyarakat. Mengutip situs World Bank, pendidikan tinggi berperan penting dalam mendorong pertumbuhan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Bagaimanapun, sumber daya manusia yang ahli menjadi syarat untuk inovasi dan pertumbuhan. Orang berpendidikan tinggi dapat diperkerjakan untuk posisi yang sesuai dengan keahliannya dan produktif. Dengan demikian, memungkinkan perolehan upah lebih tinggi dan tidak mudah terguncang oleh gejolak ekonomi. Masyarakat dengan pendidikan tinggi juga mendorong peningkatan kesadaran lingkungan, melakukan kebiasaan lebih sehat, dan tingkat partisipasi masyarakat yang lebih tinggi.

Satu hal yang paling didambakan bagi sebagian orang setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi adalah bisa berkarir di perusahan-perusahan ternama. Namun bagi sebagiannya lagi memiliki impian bisa bekerja di instansi pemerintah sebagai pegawai Negeri Sipil. Maka tidaklah mengherankan jika lulusan perguruan tinggi dalam negeri yang begitu membludak saat ini antre di jalur yang sama,  yakni menjadi pelamar pekerjaan. Fenomena membludaknya para pelamar kerja tentu terjadi akibat dari tidak seimbangnya antara lulusan perguruan tinggi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Ketidakseimbangan inilah yang nantinya menjadikan banyak pengangguran. Ironisnya, orang yang menyandang status pengangguran ini kian membludak dewasa ini. Hal ini tentu saja sebuah fenomena yang sangat menyedihkan. Apalagi jika latar belakang pendidikan para pengangguran ini bisa dikatakan memadai,  maka ini adalah realitas sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Menjadi pengangguran memang sebuah status yang tidaklah menyenangkan. Apalagi jika sudah memiliki gelar akademik. Ketika ekspektasinya dulu sebelum kuliah,  setelah lulus kuliah akan bekerja, minimal terserap di dunia kerja entah dimana saja. Namun realitanya,  setelah selesai kuliah hanya menyandang status sebagai pengangguran. Masalah pola pikir, stigmatisasi, rendanya dorongan internal, dan mentalitas yang mental enak. Hampir sebagian besar orang berpikir bahwa usai menyandang gelar akademik itu,  harus bekerja di kantor. Pola pikir semacam ini sudah mengakar dalam struktur sosial kemasyarakatan. Semakin banyak yang berprinsip seperti ini tentu memperparah posisi sebagai pencari kerja.

Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Minimnya pengalaman kerja yang berbasis skill rupanya menjadi faktor utama dari sederet persoalan diatas. Akibatnya orang hanya mengandalkan ijazah untuk melamar pekerjaan, ditengah membludaknya pencari kerja saat ini tentu saja merupakan sebuah mimpi buruk. Di era globalisasi seperti sekarang ini,  ijazah bukan lagi menjadi hal terpenting dalam mendapatkan pekerjaan.  Akan tetapi jauh dari itu adalah mereka yang membentengi diri dengan skill dan ijazah serta pandai bersosialisasi, akan menjadi pemenang. Sementara yang mengandalkan ijazah saja dalam mencari pekerjaan akan terkalahkan oleh kompetitor lain. Lain halnya jika masuk kerja karena koneksi orang dalam. Padahal pekerja yang dibawa oleh orang dalam hingga bos perusahaan itu sendiri, belum tentu dapat dijamin kualitas yang dimilikinya. Sayangnya, hal ini sudah menjadi rahasia umum akan ketidakadilan yang dinormalisasi yang menjadi jalan pintas untuk mendapatkan pekerjaan.

Oleh sebab itu, karena terdapat kaitan yang erat antara produktivitas angkatan kerja dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dari sektor pendidikan. Maka kurikulum bagi perguruan tinggi harus direncanakan sebaik mungkin. Perkembangan kurikulum dalam perguruan tinggi harus mampu melatih soft skill dan hard skill mahasiswa, sebab kecerdasan yang disertai dengan skill yang mumpuni akan menghasilkan sumber daya manusia  yang unggul dengan daya saing tinggi di era global saat ini untuk bangkit menuju Indonesia Emas 2045.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun