Mohon tunggu...
Nova Kurniawan
Nova Kurniawan Mohon Tunggu... -

Finance Staff at BUMN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyoal Istilah ‘Board of Director’ di Indonesia

17 April 2014   06:04 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 16397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam konsep corporate governance dikenal dua framework pengelolaan korporasi, yaitu one tier system dan two tier system. One tier system merupakan konsep pengelolaan yang umumnya digunakan oleh Anglo Saxon Countries seperti UK, US dan Canada. Pada konsep ini fungsi pengelolaan dan pengawasan dijadikan satu wadah/board. Sementara konsep Two Tier System banyak digunakan di negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda dan Finlandia dimana fungsi pengelolaannya dipisahkan dengan fungsi pengawasan dalam dua wadah/board yang berbeda. Namun tidak dapat diabaikan bahwa pada kenyataannya batasan wilayah negara menjadi sedikit kabur karena terdapat beberapa perusahaan US yang juga menggunakan konsep two tier system seperti negara Eropa daratan, dan sebaliknya terdapat negara Eropa daratan yang menggunakan konsep one tier system seperti pengelolaan ala US/UK. Dalam perkembangannya konsep two tier system lebih banyak digunakan dalam praktek bisnis disebabkan keunggulannya dalam mengakomodasi konflik kepentingan antara pemilik modal dan manajemen. Konsep ini juga makin berkembang pesat setelah munculnya berbagai skandal bisnis besar seperti Enron, World-com, HIH Insurance dan lain sebagainya. United States (US) sendiri sebagai negara anglo saxon yang awalnya dikenal menggunakan konsep one tier system akhirnya mengarah kepada konsep two tier system dalam pengelolaannya. Hal ini dapat dilihat pada struktur perusahaan-perusahaan US saat ini. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut two tier system seperti pengelolaan yang digunakan oleh Belanda. Dasar hukum yang mengatur tentang korporasi di Indonesia (biasa disebut Perseroan Terbatas atau ‘PT’) adalah UU No. 40 tahun 2007. Perseroan Terbatas di Indonesia kemudian diwajibkan memiliki 3 organ, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. RUPS merupakan organ tertinggi yang memiliki wewenang yang tidak dimiliki oleh organ lainnya. Direksi merupakan organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Sementara Dewan Komisaris merupakan organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberi nasihat kepada Direksi. Permasalahan kemudian muncul ketika mencari terjemahan kata yang tepat untuk menterjemahkan kata “Direksi” ke dalam Bahasa Inggris. Pada umumnya istilah yang sering digunakan di dunia global untuk menunjuk Board yang berfungsi melakukan daily operation adalah Executive Board/Board of Management. Itulah sebabnya Top Management dalam beberapa perusahaan US sering disebut Chief Executive Officer atau pada perusahaan UK disebut Managing Director. Sementara istilah yang digunakan untuk menunjuk Board yang berfungsi melakukan pengawasan kepada Executives adalah Board of Director/Supervisory Board. Pimpinan tertinggi dari Board of Director sering disebut Chairman. Jika ‘Direksi’ yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 diterjemahkan sebagai Director, maka ‘Dewan Direksi’ jika diterjemahkan akan menjadi Board of Director. Hal ini akan rancu jika dibandingkan dengan praktek bisnis dunia yang menggunakan istilah Board of Director sebagai wakil pemegang saham (setara komisaris di Indonesia). Apple contohnya, sebagai sebuah perusahaan multinasional Amerika yang membuat produk-produk elektronik, software dan PC, membagi pengelolaan perusahaan ke dalam 2 Board, yaitu Board yang berfungsi menjalankan roda operasional perusahaan (disebut Executives Team) dan Board yang terdiri dari wakil pemegang saham dan berfungsi melakukan pengawasan kepada Manajemen (disebut Board of Directors). Uniknya, Tim Cook yang merupakan CEO dari Apple juga merupakan anggota dari Board of Directors bersama dengan wakil pemegang saham lain seperti Robert A Iger (CEO Walt Disney), Ronald D Sugar (CEO Northrop Grumman), Arthur D Levinson (CEO Genentech) dan member lainnya. Pengelolaan seperti Applejuga teraplikasi dalam perusahaan US lain seperti Ford, Chevron, Mc Donald, Procter&Gamble dan lain sebagainya. Hal tersebut juga terdapat pada perusahaan UK seperti Vodafone dan British Petroleum. Perbedaannya adalah di atas kertas perusahaan UK hanya memiliki satu Board yang disebut Board of Directors, namun secara fungsi Board of Directors tersebut terbagi dalam member yang melakukan fungsi pengawasan (biasa disebut Non Executives Director) dan member dengan fungsi daily operation (biasa disebut Executives). Berbeda dengan ThyssenKrupp dan Volkswagen asal Jerman atau Philips asal Belanda yang membagi Board of Directors (setara komisaris di Indonesia) dan Executive Board berisikan member yang berbeda satu sama lain. Di negara-negara ASEAN seperti Malaysia atau Singapura pun Board of Director digunakan untuk menunjuk wakil pemegang saham yang bertugas mensupervisi Executives/Management team. Vietnam dengan TLCC misalnya berbeda dengan Malaysia dan Singapura dalam penggunaan istilah, namun Vietnam menggunakan Supervisory Board (setara komisaris di Indonesia) dan Board of Management, bukan Board of Director, untuk menunjuk Manajemennya. Kerancuan istilah Board of Director ini sewajarnya membuat Indonesia harus kembali mengkaji istilah “Direksi” dalam UU No. 40 tahun 2007 agar dapat relevan dengan praktek bisnis yang umumnya terjadi di dunia. Bukankah lebih baik jika istilah “Direksi” dalam Undang-Undang diganti menjadi Eksekutif (terjemahan kata dari Executive) atau Manajemen (terjemahan kata dari Management) atau kata lain yang tidak berpotensi memberikan kebingungan bagi stakeholders khususnya yang bukan Warga Negara Indonesia. “Ah, kan cuma istilah, yang penting kan sama-sama tau maksudnya.” Dalam dunia bisnis terdapat sebuah kejadian menarik dimana FASB (Financial Accounting Standard Boards), organisasi yang bertujuan mengembangkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Amerika Serikat tidak segan-segan untuk mengganti istilah yang tidak tepat disebabkan alasan berikut. ”Information provided by financial reporting should be comprehensible to those who have a reasonable understanding of business and economic activities and are willing to study the information with reasonable diligence Dalam konteks dunia bisnis penggunaan istilah yang tepat dianjurkan untuk digunakan karena pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut adalah orang dengan kualifikasi tertentu dan terdidik. Selisih pemahaman berpotensi untuk memberikan pengambilan keputusan yang tidak tepat sehingga penggunaan istilah yang tepat diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan terbaik bagi stakeholders. Financial Reporting memiliki definisi yang berbeda dengan Financial Report. Financial Reporting mencakup bidang yang lebih luas seperti lembaga yang terlibat dan peraturan yang berlaku dalam penyusunan laporan keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun