Mohon tunggu...
Sosbud

Tragedi 1998 sebagai Puncak Keputusasaan Bangsa Indonesia Tuk Bersatu

2 Desember 2018   12:03 Diperbarui: 2 Desember 2018   12:13 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hai Kompasianers! Tragedi 1998 pasti sudah tidak asing di telinga Kompasianers sekalian. Pada Kesempatan kali ini, saya ingin membagikan opini saya mengenai Tragedi 1998 dengan meninjau melalui dasar tingkah laku manusia di masyarakat, atau yang kita kenal dengan istilah HUKUM. Apakah Tragedi 1998 yang terjadi bisa jadi merupakan kebenaran jika ditinjau dari sudut pandang hukum? Dan jika salah di depan hukum, sudahkan hukum di Indonesia menangani kasus ini dengan baik?

Tentu kompasianers sekalian sudah mengetahui bahwa Tragedi Tahun 1998 bukan merupakan tahun yang penuh sukacita dan kemenangan. Sebaliknya, merupakan kesuraman dan perpecah-belahan yang menimbulkan trauma yang mendalam bagi Bangsa Indonesia. Berbagai rentetan tragedi yang menerkam orang-orang tak bersalah menimbulkan cacat dalam perjuangan negara kita untuk maju. Tragedi ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan, namun apakah tragedi ini juga merupakan tragedi hukum?

Pertama-tama, Tragedi 1998 jelas bertentangan dengan sila pancasila, tepatnya sila yang ke-5, mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam tragedi 1998, terjadi berbagai peristiwa yang merenggut hak-hak orang lain, bahkan hak untuk hidup. Dalam sila ke-5 disebutkan bahwa setiap rakyat harus diperlakukan adil dan sama rata. Namun, kenyataannya yang mendapat keadilan justru oknum-oknum yang berkuasa dan pantas dihukum, bukannya pihak-pihak yang menjadi korban. Sila-2 juga dilanggar dalam tragedi ini, mengingat cukup banyak korban yang berjatuhan oleh akibat tindakan yang tak berperikemanusiaan.

Tragedi 1998 terkenal akan beberapa peristiwa, yaitu peristiwa Trisakti, Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei. Dalam tragedi Trisakti, 4 mahasiswa yang menuntut kudeta Presiden Soeharto ditembak mati dikampus. Mereka ditembak mati dengan alasan mereka berdemo menuntut Presiden Soeharto mundur. Mereka dibunuh dengan alasan mengungkapkan pendapat mereka di depan umum, sehingga menunjukkan bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto, kebebasan pers benar-benar minim.

Sedangkan dalam kerusuhan Mei 1998, terjadi penjarahan, pemerkosaan dimana-mana, utamanya terhadap etnis Cina, etnis Batak, sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan orde baru, dan juga krisis moneter ASEAN yang terjadi sejak tahun 1997. Tentu tindakan protes tidak dapat dijadikan dalil dalam serentetan tindakan keji tersebut. Saya rasa berbagai tindakan itu hanya didasarkan pada hawa nafsu dan keserakahan belaka, dimana para pelaku mencari kesempatan dalam kesempitan.

Maju beberapa bulan kemudian, tepatnya 11-13 November 1998, terjadi Tragedi Semanggi, dimana dalam rentang 3 hari ini, para pemuda berdemonstrasi menolak sidang istimewa MPR 1998. Hasilnya, 17 pemuda tewas, dan 456 lainnya luka-luka. Penembakan dilakukan oleh aparat militer dan penembakan mereka pun juga menyasar warga sipil dan mahasiswa-mahasiswa di Kampus Atma Jaya yang saat itu menjadi tempat pengungsian atau tempat beberapa mahasiswa yang saat itu menolong beberapa kawan mereka yang terluka akibat bentrok hari pertama.

Dari beberapa gambaran peristiwa diaatas, dapat disimpulkan bahwa Tragedi-tragedi 1998 bertentangan dengan hukum yang berdiri di Indonesia, utamanya hukum mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pengakuan HAM dalam pancasila yang menjelaskan mengenai harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa dan kesederajatan kita antar sesama manusia dalam mengembangkan kewajiban kita dan memenuhi hak kita.

Lalu, apakah hukum Di Indonesia itu sendiri sudah memberikan solusi yang tepayt untuk menangani kasus ini?

Pertama, marilah kita melihat kembali pengusutan kasus Tragedi Trisakti oelh hukum. Oleh banyaknya korban, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) telah mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut adalah kasus pelanggaran HAM berat. Namun, nyatanya presiden juga tidak membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM untuk mengatasi kasus ini sampai sekarang, dan hanya kata 'maaf' yang terlontar. Kejaksaan Agung dan panitia khusus Semanggi I dan Semanggi II yang dibentuk DPR, juga mempertimbangkan untuk tidak meningkatkan kasus ini ke kasus pelanggaran HAM berat. Berarti, kita dapat melihat bahwa kasus Trisakti masih 'buram'.

Kedua, pengusutan kasus Tragedi Semanggi juga tidak tidak kalah gelapnya. Sampai bertahun-tahun kemudian saja, keluarga korban dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan masih mempertanyakan bagaimana kemajuan pengusutan kasus ini, dan hasilnya nihil. Tampaknya hampir seluruh aparat militer maupun kepolisian tidak mau tahu akan masalah yang telah terjadi. Contohnya, pihak Polisi Militer Kodam angkat bicara mengenai masalah yang terjadi dan berjanji akan melakukan penyidikan serta memberitahu progress-progress yang ada. Namun, tidak pernah lagi ada pernyataan dari pihak kepolisian setelah itu, seolah-olah kasus ini sudah bubar.

Kerusuhan Mei 1998 juga belum terusut sampai sekarang. Sudah banyak etnis Tionghoa dan Batak yang mempertanyakan keadilan kasus ini, dan hasilnya adalah pernyataan pemerintah yang menyebutkan bahwa kasus ini sudah tuntas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun