Mohon tunggu...
Doni Kurniawan
Doni Kurniawan Mohon Tunggu... -

Guru Kewarganegaraan SMA NEGERI 7 KOTA BEKASI

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berharap dalam Kemarau

25 Oktober 2012   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan musim adalah hal biasa dalam kehidupan kita di dunia. Namun, seiring jalannya waktu perubahan tersebut menjadi hal istimewa kadang menakutkan. Mengapa? Tentu kita masih ingat ketika terjadi angin puting beliung disertai hujan es dibeberapa wilayah di Indonesia atau kebakaran hebat hutan yang melanda saat musim kemarau. Sehingga akan muncul pertanyaan dalam hati kita yaitu harapan saat kemarau datang. Atau harapan saat musim hujan tiba. Apakah itu?

Saat kemarau tiba, tentu kita berharap datangnya musim hujan yang memberi harapan kehidupan yang lebih baik lagi. Namun saat musim hujan tiba, justru muncul harapan baru yang mengharap musim hujan segera berlalu karena takut datangnya banjir dan musibah lainnya yang datang menyertai. Jadi sebenarnya apa yang kita mau adalah bukan apa yang kita harapkan. Kenapa? Ternyata banyak orang yang kemauannya bukanlah harapannya. Tapi harapan yang timbul merupakan mau yang diinginkan. Contoh, ketika seorang ayah berharap anaknya menjadi dokter, itulah sebenarnya yang ayahnya mau. Atau ketika seorang ibu berharap anaknya menjadi guru, itulah sebenarnya yang sang ibu mau. Jadi apa sebenarnya berharap dalam kemarau?

Kemarau adalah musim yang jarang bahkan tidak dikunjungi hujan. Awan panas dan udara menyesakkan menghampiri setiap saat. Bahkan kebakaran hutan tak jarang dijumpai. Namun, bila kita renungkan hal tersebut merupakan simbol dalam kehidupan kita. Dimana 90% diri kita selalu diliputi oleh panasnya hawa nafsu kita untuk kuasai dunia. Dimana kita selalu terbakar oleh hasrat dunia yang tak kunjung padam. Sehingga wajar bila musim kemarau saat ini pun lama berkepanjangan sejalan dengan nafsu manusia yang terus membara hingga akhir masa. Hingga muncul harapan dalam kemarau yaitu datangnya hujan yang menyirami, sejuknya udara yang dihirup, suburnya tanaman sehingga indah pemandangan dan banyaknya kenikmatan lain yang tak terhitung. Tapi semua itu bila berlebihan menjadi bencana yang tak kunjung reda. Hujan yang terus turun akan jadi banjir yang terbendung. Udara yang sejuk bila berlebihan menjadi topan / puting beliung yang membahayakan. Hingga muncul harapan kapan ini berakhir. Benarkah???

Bila kita mau jujur, kita akan merasa sedikit nyaman bila musim hujan terus datang mengiringi kehidupan daripada kemarau yang menghampiri. Mengapa? Karena hakikatnya manusia mengharapkan kedamaian dalam hidupnya, walau sejuta nafsu membara dalam dirinya. Jadi tepatlah tulisan ini diberi judul "Berharap dalam kemarau", karena manusia selalu mengharapkan kedamaian dalam menjalani dan mencapai segala cita-cita dalam hidupnya. Mungkin bila ada kekerasan itu hanya semata-mata karena kondisi yang memaksanya. Wallahu'alam bi shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun