Dalam pidatonya, Sri Sultan HB X mengatakan “bahwa untuk memberi sumbangsih dan menjadi wong Jogja, tidaklah harus lahir di Jogja dan atau memiliki keturunan Jawa... sudah semestinya, keistimewaan Jogja adalah untuk Indonesia. Bahwa menjadi Jogja, adalah menjadi Indonesia” (Kumparan, 31/8/2022)
Hal tersebut menegaskan kembali bagaimana pendahulunya, Sri Sultan HB IX memimpin entitas nagara agung Yogyakarta masuk dalam semangat revolusi kemerdekaan Indonesia. Kalimat yang diucapkan Sri Sultan HB X tersebut mengungkap realita yang disampaikan secara simbolis tentang bagaimana zaman telah membawa masyarakat Jawa dan Yogyakarta melebur dalam Republik, dalam makna, nilai dan mitos baru tentang kebangsaan dan cita-cita ke-Indonesia-an yang multikultural dan bhinneka.
Secara lebih khusus, Sri Sultan HB X juga menegaskan kembali nilai-nilai baru tersebut dalam “Pancamulia”, sebuah visi-misi dalam memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan HB X menyatakan bahwa tujuan akhir itu adalah kesejahteraan segenap rakyat Yogyakarta dalam basis budaya.
Selain simbol-simbol kebudayaan Jawa yang melekat pada diri seorang Sri Sultan HB X, ke-Indonesia-an adalah simbol dan nilai baru yang terus ditanamkan dalam kepemimpinan Sri Sultan HB X. Secara simbolis Sri Sultan HB X menunjukan arah kedepan yang hendak diwujudkan.
Sri Sultan Hamengku Buwono X Melibatkan Diri Dalam Nafas Politis
“Pemimpin yang efektif menciptakan agenda perubahan, dengan dua elemen utama: visi yang menyeimbangkan kepentingan jangka panjang banyak pihak dan strategi untuk mencapai visi seiring memahami kekuatan internal maupun eksternal yang saling berkompetisi” (Kolter dalam Bolman & Deal 2017, 203)
Betapa banyaknya pemberitaan mengenai peran dan persinggungan Sri Sultan HB X dengan dunia politik di Indonesia terutama menjelang reformasi hingga saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari sepak terjang dan otoritas yang diemban Sri Sultan HB X.
“otoritas adalah hal penting bagi setiap orang yang berada di jabatan formal karena kontrol sosial bergantung pada hal tersebut” (Bolman & Deal 2017, 191)
Dengan kemampuannya membaca panggung politik Indonesia, Sri Sultan HB X mengontrol kondusifitas dan meredam dampak buruk dari gelombang reformasi 98 terutama di wilayah Yogyakarta. Pada periode tersebut Yogyakarta menjadi salah satu pusat gerakan reformasi. Banyak akademisi, aktivis, seniman, tokoh intelektual dan tokoh masyarakat yang berbasis dan tinggal di Yogyakarta terlibat aktif dalam mematangkan gerakan reformasi melawan Orde Baru tersebut. Sebagai Gubernur, Sri Sultan HB X memainkan kekuasaan politik dan menggerakan tangan-tangan dan elemen-elemen politiknya untuk mengayomi dan menenangkan situasi keamanan dan ketertiban di Yogyakarta.
Pada 20 Mei 1998, di depan ratusan ribu rakyat, mungkin lebih, tepat di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X mengeluarkan maklumat yang mendukung gerakan reformasi. Sejumlah tokoh seperti Rektor UGM Ichlasul Amal mendampingi Sri Sultan HB X kala itu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!