Takdir hidup Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat jauh lebih panjang dari penjajahnya, Vereenigde Oostindische Compagnie. Bahkan kepemimpinan raja-raja Mataram dan pewarisnya di tanah Jawa sudah membentang lebih dari 400 tahun dan bertahan melewati masa kolonialisme.
Selasa Wage, 7 Maret 1989, sekitar 2000 tamu dari dalam negeri maupun mancanegara telah bersiap di Siti Hinggil sejak pagi, untuk menyaksikan Bendara Raden Mas Herjuno Darpito dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono X. Salah satu raja Jawa yang dilantik di zaman Republik Indonesia.
Sebagai bagian integral dari Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta melewati masa pemerintahan Republik Indonesia yang silih berganti dari presiden Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.
Bagaimana seorang raja, yang mempunyai peran ganda sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan Indonesia dan juga raja yang menjadi simbol kebudayaan Jawa ini bertahan di zaman republik yang mengusung nilai-nilai demokrasi dan berlangsung hampir 40 tahun?
Tentu saja falsafah kepemimpinan dan kebudayaan Jawa menjadi cakrawala pandang yang meresap dalam diri Sri Sultan HB X. Budayawan dan akademisi Suwardi Endraswara menuliskan bahwa dalam kepemimpinan Jawa, orang cenderung menonjolkan figur kepemimpinan daripada sistem kepemimpinan. Gambaran ini juga tampak dalam gelar raja Jawa yang menggenggam semua aspek pemerintahan dari sosial dan pemerintahan dengan ungkapan "berbudi bawa leksana, bau dendha nyakrawati" yang berarti pemurah laksana angin, yang menghukum dan menyempurnakan. (Endraswara 2013, 6)
Tetapi esai ini tidak akan melihat jauh ke dalam falsafah Jawa, justru akan melihat bagaimana kepemimpinan Sri Sultan HB X dalam sudut pandang barat dan dalam Four Frames of Leadership yang digagas oleh Joe Zolner, seorang profesor dari universitas Harvard yang berkecimpung di bidang edukasi.
Zolner membagi kepemimpinan dalam 4 kerangka: Simbolis, Politis, Struktural dan Sumber Daya Manusia. Namun esai ini menjabarkan kepemimpinan Sri Sultan HB X dalam pemahaman Simbolis dan Politis.
Kepemimpinan Simbolis Sri Sultan Hamengku Buwono X
“kerangka simbolis fokus pada bagaimana mitos dan simbol membantu manusia memahami dunia yang kacau dan ambigu dimana mereka hidup. Makna, kepercayaan dan agama menjadi pusat perhatian” (Bolman & Deal, 2017, 236)
Sri Sultan HB X memimpin Yogyakarta dan masyarakat Jawa yang saat ini telah terintegrasi dalam Indonesia. Dalam sebuah acara di kompleks kantor Gubernur Yogyakarta untuk memperingati satu dasawarsa UU Keistimewaan DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan retorika yang sebenernya merupakan intisari dari integrasi Jogja dan Jawa ke dalam Indonesia.