RKUHP Nasional yang disusun sejak tahun 1963 oleh para Pakar Hukum Pidana, kemarin (6/12/2022) akhirnya oleh DPR disahkan menjadi Undang-Undang. Namun, keberlakuan efektif RKUHP Nasional tersebut, menjadi hukum pidana induk yaitu 3 (tiga) tahun ke depan.
Melihat pada kebijakan hukum pidana yang diambil tersebut, wajah hukum pidana dalam RKUHP Nasional jauh berbeda dengan KUHP saat ini. Pertama-tama hal itu dapat ditinjau dari keberlakuan asas legalitas dalam RKUHP Nasional yang berbeda dengan KUHP saat ini.
Asas legalitas merupakan asas yang fundamental dalam keberlakuan norma-norma induk dalam peraturan perundang-undangan pidana. Dikatakan asas yang fundamental, artinya keberlakuan suatu asas legalitas akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan norma-norma yanf tercantum dalam KUHP tersebut pada kasus-kasus in concreto.
Tulisan kali ini, hendak membandingkan asas legalitas dalam KUHP saat ini dengan RKUHP Nasional. Di dalam KUHP saat ini, asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 KUHP, yakni pada ayat (1) menyatakan "tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana sebelum perbuatan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana." Pada ayat (2) menyatakan "Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, Â maka terhadap tertuduh diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan."
Maksud dari keberlakukan asas legalitas KUHP saat ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP di atas yaitu seseorang tidak dapat dijatuhi pidana sebelum ada peraturan perundang-undangan pidana yang menyatakan bahwa perbuatan itu termasuk tindak pidana. Hal ini ditujukan supaya Pemerintah melalui aparatur penegak hukumnya tidak sewenang-wenang dalam hal penegakan hukum pidana.
Sedangkan, maksud dari ayat (2) yaitu pengecualian dari Asas Legalitas yaitu Asas Subsidiaritas. Maksud Asas Subsidiaritas adalah wujud dari bentuk perlindungan negara kepada warga negara, yaitu dalam hal apabila ada ketentuan pidana yang sama-sama mengatur antara terdahulu sama perubahan, apabila ada tindak pidana yang dilakukan dan belum dilakukan proses penegakan hukum, ketika dilakukan proses penegakan hukum diberlakukan ketentuan yang menguntungkan baginya.
Selanjutnya, di dalam rumusan asas legalitas RKUHP Nasional, terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (1) RKUHP Nasional masih sama keberlakuannya. Namun, ditegaskan di dalam ayat (2) yaitu "Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang menggunakan Analogi." Maksudnya adalah dalam hal interpretasi ketentuan-ketentuan pidana dilarang menggunakan analogi.
Selain itu, terdapat ketentuan di Pasal 2 yaitu mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur di dalam RKUHP Nasional. Serta, ditegaskan bahwa hukum yang hidup itu berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Dalam ketentuan itu maksudnya adalah mengakomodir hukum pidana adat. Ya, mengakomodir kebhinnekaan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi wajah baru dalam hukum pidana ini. Tentunya, dalam penegakan hukum pidana itu memperhatikan tempat tindak pidana itu dilakukan terkait nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H