Kemarin (6/12/2022) DPR telah resmi mengesahkan RKUHP Nasional menjadi Undang-Undang. Itu artinya, dalam waktu dekat KUHP (warisan kolonial) sudah tidak berlaku & digantikan dengan wajah KUHP yang baru. Hal ini tentunya, akan merubah wajah politik hukum pidana bagi negara Indonesia di mata dunia. Mengingat, suatu negara apakah dapat disebut.
Banyak asas-asas dan konsep baru dalam RKUHP Nasional. Misalnya, Asas permaafan Hakim dan konsep sistem sanksi yang menganut Double Track System. Namun, tulisan kali ini hendak membahas pada persoalan yang berkaitan langsung pada Jurnalis dan Konten Kreator. Ya, apakah rumusan delik yang tercantum dalam RKUHP Nasional membatasi ruang bagi para Jurnalis dan Konten Kreator?
Khususnya pada delik-delik penghinaan. Baik, penghinaan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 RKUHP Nasional sampai dengan Pasal 220 RKUHP Nasional. Di dalam rumusan delik tersebut, terdapat penjelasan bahwa yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal), oleh karena itu secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.
Melihat pada konsep dari rumusan delik dan penjelasan suatu delik di atas, hal ini sesungguhnya menjadi edukasi bagi para Jurnalis dan Konten Kreator pada khususnya atau masyarakat umum, bahwa menyampaikan kritik itu boleh dan wajar, namun dalam hal penyampaian kritik itu harus tetap memperhatikan nilai-nilai etika di suatu masyarakat. Faktor ini yang hendak dikedepankan oleh pembentuk undang-undang dalam hal melindungi martabat dan kehormatan seorang Presiden.
Selain itu, hal ini juga hendak menunjukkan kepada dunia bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beradab, bukan masyarakat yang biadap. Semoga, masyarakat lebih edukatif dalam penyampaian kritik serta penegakan hukum juga lebih hati-hati dan cermat di dalam memahai RKUHP Nasional yang baru ini.Â
Dengan demikian, rumusan delik yang tercantum di dalam RKUHP Nasional tidak membatasi ruang bagi para Jurnalis dan Konten Kreator, namun dalam hal penyampaian kritik harus lebih memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H