Hukum dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasarnya, yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Meskipun ketiga nilai tersebut merupakan nilai-nilai dasar dari hukum, tetapi yang terjadi sering terdapat sebuah ketegangan satu sama lain (Spannungsverhltnis). Â Jika terdapat ketegangan, maka yang diutamakan ialah keadilan. Ya, keadilan sebuah mahkota dari setiap tata hukum.
Pemikiran Gustav Radbruch yang lahir pada abad ke-20, beliau adalah ahli hukum dari Jerman, pemikirannya ini mendapat pengaruh dari mazhab neokantianisme Marburg, dan dari mazhab neokantianisme Baden. Â Radbruch berusaha mengatasi dualisme antara Sein dan Sollen, antara 'materi' dan 'bentuk'. Jika Rudolf Stammler dan Hans Kelsen terperangkap dalam dualisme itu, sehingga yang dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau bentuknya, maka Radbruch tidak mau terjatuh dalam 'kesesatan' yang sama. Dalam pemikiran Radbruch, Sein dan Sollen sebagai dua sisi dari satu mata uang. 'Materi mengisi Bentuk' dan 'Bentuk melindungi Materi'. Perumpamaan ini kiranya yang tepat untuk melukiskan Teori Radbruch tentang hukum dan keadilan. Tentang nilai kepastian hukum dengan nilai keadilan hukum. Nilai keadilan hukum adalah 'materi' yang harus menjadi isi aturan hukum, untuk mewujudkan ada hukumnya. Sedangkan aturan hukum adalah 'bentuk' yang harus melindungi nilai keadilan.
Mengelaborasi pemikiran Rabdruch diatas, yang Pertama, terkait kepastian hukum alasan hadirnya pencabutan hak politik, dalam makalah ini penulis membatasi hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik, bukan hak untuk memilih. Membicarakan tentang 'Hak' selalu identik dengan  Hak Asasi Manusia, dapatkah hak tersebut dibatasi? Ya, secara Konstitutional dapat dibatasi hak untuk dipilih tersebut, melihat pada ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Secara internasional pembatasan ini tercantum dalam ICCPR-Article 12 Point 3 . Jadi secara yuridis, sanksi pencabutan hak dalam kerangka Hak Asasi Manusia diperkenankan penerapannya.
Kedua, Keadilan hukum sebagai mahkota setiap tata hukum. Kejahatan yang dilakukan oleh Pejabat Publik ini mempunyai korban yang banyak dan luas. Faktor ini yang menjadi dasar harus ada pembatasan bahwa seorang mantan terpidana koruptor, tidak layak dan tidak patut masuk dalam lembaga yang terhormat dengan memiliki kekuasaan dan kewenangannya kembali. Apabila sebuah keputusan diperoleh dari seorang mantan 'pembunuh berdarah dingin', yang memberikan efek luar biasa pada kehidupan masyarakat banyak, bukan efek yang baik, melainkan efek keburukan yang masyarakat terima. Oleh karena itu, sisi keadilan hukumnya ialah keadilan untuk masyarakat banyak. Mengorbankan yang kecil demi tujuan yang besar, yakni kebahagiaan masyarakat (eudominia).
Aristoteles menyatakan bahwa 'yang sama diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama'. Dalam konteks ini, seorang mantan terpidana korupsi tidak sama dengan orang yang belum pernah melakukan korupsi. Karena kejahatan korupsi tidak hanya sebatas melanggar norma-norma hukum, tetapi juga menciderai nilai-nilai kepatutan dari segi agama, moral, dan kewajaran sosial. Pernyataan demikian yang harus menjadi dasar untuk menegasikan asas Equality Before the Law.
Ketiga, Kemanfaatan Hukum sebagai finalitas dari keadilan hukum. Hukum ada untuk memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Manusia yang hendak dimajukan kebaikannya dibagi menjadi tiga, yakni individu manusia, kolektivitas manusia, dan individu yang tersingkir. Subyek pertama terkait individu manusia, hukum disusun untuk tujuan yang bersifat individualistis. Dalam konteks ini, individu manusia yang belum menjadi terpidana korupsi. Jadi, pencabutan hak dipilih merupakan upaya preventif untuk mengingatkan bahwa seorang pejabat publik yang mengemban tugas untuk mensejahterakan rakyat, jangan sampai menciderai nilai-nilai keseimbangan di masyarakat. Jika ia sampai menjadi terpidana korupsi, maka kesempatannya untuk menjadi Pejabat Publik ada pembatasannya.
Subyek yang kedua, kolektivitas manusia, kemajuan negara demi kesejahteraan warga negaranya. Kejahatan korupsi bisa dipastikan menghambat kemajuan negara dan pembangunan negara, karena ia merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, supaya kemajuan negara dapat terwujud, maka harus ada pembatasan terhadap orang-orang yang ada pada lembaga-lembaga terhormat tersebut. Pembatasan ini dilakukan dengan pencabutan hak politik terhadap terpidana korupsi.
Subyek yang terakhir, individu yang tersingkir. Tersingkir dalam konteks ini, mempunyai makna tidak dapat mencalonkan menjadi Pejabat Publik, karena adanya sanksi yang membatasinya. Sanksi ini bersifat mendidik bagi mantan terpidana korupsi. Didalam teori pemidanaan, dikenal dua teori, yakni teori retributif dan teori relatif. Sanksi pencabutan hak untuk dipilih sebagai Pejabat Publik masuk dalam teori relatif, karena tujuan sanksi untuk pencegahan. Sanksi ini melihat kedepan demi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan teori retributif, lebih bersifat pembalasan, memberikan penderitaan, nestapa, dengan melihat kebelakang tidak untuk memperbaiki, tetapi untuk membalas atas kejahatan yang telah diperbuatnya.
Dengan berbagai penjelasan diatas, maka menurut hemat penulis, sanksi pencabutan hak politik diperkenankan penerapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H