Mohon tunggu...
Efendik Kurniawan
Efendik Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Publish or Perish

Pengamat Hukum email : efendikkurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pungutan Liar dan Penyakit Birokrasi (Masyarakat)

15 November 2022   05:39 Diperbarui: 15 November 2022   05:42 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Atensi Presiden terhadap ulah-ulah premanisme menjadi perhatian publik. Uniknya, perintah itu disampaikan langsung oleh Presiden kepada Kapolri, pasca melakukan kunjungan di Tanjung Priok.

Sontak, Intruksi Kapolri ke jajaran di bawahya yang ada di daerah itu langsung dilakukan. Menjadi persoalan, ketika sikap-sikap premanisme yang banyak macamnya itu, hanya terfokus pada perbuatan 'pungutan liar' (pungli). Padahal, rezim pemerintah Jokowi ini sudah berulang kali melakukan berbagai upaya untuk memberantas pungli itu.

Mulai dari membentuk Satgas Pungli di berbagai sektor. Tapi, nampaknya upaya itu juga belum membuahkan hasil. Melihat fenomena ini, dapat dilihat dari perspektif kriminologi dan hukum pidana.

Perspektif Kriminologi
Dilihat dari perspektif kriminologi, fenomena pungli itu sudah menjadi 'penyakit masyarakat'. Baik di dalam sektor 'birokrasi' maupun 'masyarakat umum' Itu artinya, perbuatan itu seolah-olah sudah menjadi 'hal biasa' di masyarakat. Seperti halnya dengan perbuatan judi, baik judi sabung ayam maupun judi on line.
 
Ada sebuah adagium di birokrasi bahwa 'jika bisa dipersulit kenapa dipermudah'. Adagium itu seolah-olah sudah mendarah-daging di birokrasi negeri ini. Mungkin sikap itu yang dicontoh oleh masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa perbuatan itu dianggap biasa oleh masyarakat. Jawabannya karena 'budaya'. Banyak tindakan-tindakan di sekitar kita yang 'kurang terpuji' itu dianggap hal yang 'lumrah atau wajar'. Tindakan 'in-toleransi' terhadap penyakit masyarakat itu, jarang kita lakukan. Ya, keadaan itulah yang menjadi faktor perbuatan ini terjadi di mana-mana.
Tindakan premanisme di dalam dimensi kejahatan, termasuk dalam kejahatan jalanan (street crime). Artinya, kejahatan yang dilakukan itu lebih karena persoalan 'perut'. Seperti halnya, pencopetan, jambret, dan perampokan.
Ada juga tindakan premanisme ini yang menyebutnya dengan istilah 'pungutan liar'. Tetapi, jika melihat dari banyaknya peristiwa itu, harus dibedakan antara 'pemerasan' dengan 'pungutan liar'. Perbedaan itu terlihat dari perspektif hukum pidana.
Perspektif Hukum Pidana
Sifat dari hukum pidana ialah 'simptomatik'. Ia (hukum pidana) akan bereaksi ketika terdapat peristiwa-peristiwa yang masuk dalam katagori tindak pidana. Seperti fenomena ini misalnya, semua polisi yang ada di daerah langsung melakukan tindakan dengan melakukan penangkapan beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana pungutan liar.
Seseorang yang dilakukan penangkapan, berarti statusnya sudah menjadi tersangka. Dalam hukum acara pidana, seseorang yang statusnya menjadi tersangka, harus minimal adanya 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Itu artinya, Polri tidak boleh 'sembarangan' dalam melakukan upaya paksa tersebut. Harus hati-hati dan cermat.
Dalam premanisme itu, tindakan pungutan liar termasuk dalam tindak pidana pemerasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP. Isi dari Pasal 368 ayat (1) KUHP yaitu "barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Dari kontruksi norma itu, tindakan premanisme yang memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seseorang untuk menyerahkan uang (barang), memenuhi unsur delik itu.
Selain itu, dilihat dari ancaman sanksi pidana dengan bentuk sanksi pidana penjara paling lama sembilan tahun, maka tindak pidana ini termasuk dalam katagori 'kejahatan'.
Budaya Di Masyarakat & Criminal Policy
Menjadi sebuah persoalan, ketika kejahatan itu menjadi 'budaya di masyarakat'. Persoalannya ialah dari segi aspek hukum pidana perbuatan ini termasuk kejahatan, tetapi di masyarakat ketika terjadi hal itu, menjadi sesuatu hal yang lumrah. Ada beberapa masyarakat yang membiarkan hal itu terjadi, tetapi ada juga masyarakat yang 'sesungguhnya risih' dengan keadaan itu.
Menyikapi fenomena tersebut, karena hal ini termasuk kejahatan, maka harus menggunakan 'kebijakan kriminal' (Criminal Policy). Konsepsi dari Criminal Policy yaitu upaya-upaya rasional yang dipergunakan untuk menanggulangi kejahatan. Ingat, 'upaya rasional' bukan 'emosional'.
Mengingat, pungli ini sudah menjadi penyakit masyarakat, harusnya upaya untuk menanggulangi kejahatan itu tidak hanya dengan menggunakan 'upaya represif' seperti saat ini. Seolah-olah hanya karena ada intruksi Presiden yang langsung ke Kapolri, tindakan pemberantasan atas kejahatan itu dilakukan. Tetapi, apakah seperti itu terus penegakan hukum pidananya?
Terdapat solusi yang dapat ditawarkan oleh Penulis, yaitu dengan melihat dari aspek kriminologi, bahwa kejahatan ini termasuk dalam dimensi street crime, maka persoalan intinya pada 'persoalan perut'.
Merubah budaya masyarakat itu, dengan budaya kerja yang baik dan wajar menjadi solusi yang dapat ditawarkan. Atau pemerintah melakukan kajian terlebih dahulu terhadap 'penyakit masyarakat' ini dengan melibatkan peran 'Perguruan Tinggi'. Ya, dilibatkan untuk melakukan penelitian, mulai dari sebab-musabab, apa inti permasalah di sana, serta solusi apa yang dapat ditawarkan terhadap permasalahan ini.
Ada sebuah adagium bahwa 'keberhasilan penegakan hukum pidana itu, bukan banyaknya perkara pidana yang ditangani dan memasukkan orang ke penjara, tetapi lebih pada tidak adanya tindak pidana yang terjadi di masyarakat'.
Arti dari adagium itu, yakni budaya masyarakat sudah berubah. Ya, berubah untuk lebih tertib hukum dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat upaya preventif yang dilakukan aparat penegak hukum langsung menyentuh hakikat persoalan itu. Hukum pidana berubah wajah lebih manusiawi. Serta, hal ini dilakukan untuk mengurangi overcapacity di Lapas.
Sebagai penutup, orientasi pemerintah dan aparat penegak hukum harus berubah, bahwa hukum (hukum pidana) itu ada untuk mewujudkan 'ketertiban' dan 'kebahagiaan' (eudominia) manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun