Tidak mengagetkan. Begitulah pernyataan yang dapat diutarakan pasca ditetapkannya Penyidik KPK menjadi tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Seperti halnya dengan aparat penegak hukum lainnya, banyak juga yang tersangkut tindak pidana pada bidang yang seharusnya ia berantas.
Misalnya, Penyidik Polri di bidang Resnarkoba, bukan tidak mungkin ia juga memakai atau menjadi pengedar obat-obatan terlarang itu. Lembaga Kejaksaan, banyak juga yang tersandung korupsi pada perkara yang sedang ditangani. Misalnya, pada berat-ringannya 'tuntutan jaksa' saat persidangan pokok perkara.Â
Lembaga Pengadilan juga ada beberapa hakim dan panitera yang tersandung perkara korupsi. Biasanya, korupsi yang dilakukan itu pada berat-ringannya suatu putusan atau bahkan merubah status 'tahanan rutan' menjadi 'tahanan kota'.Â
Dengan kata lain, apa yang terjadi pada internal KPK saat ini, bukan merupakan fenomena baru.
Khusus pada kejahatan korupsi, sudah banyak ungkapan bahwa kejahatan itu mewabah di masyarakat. Bahkan, seolah-oleh menjadi budaya. Ya, menjadi kebiasaan. Kebiasaan ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Kebiasaan yang buruk itu. Sudah seharusnya, tidak ada 'toleransi' pada 'kebiasaan' itu.Â
Tetapi, sikap di masyarakat seperti hal yang biasa-biasa saja.
Melihat fenomena seperti itu, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengentaskan negara ini dari kejahatan itu. Dapat dikatakan, bahwa harapan untuk lepas dari kejahatan korupsi dapat terwujud, jika ada sebuah komitmen.Â
Siapa yang berkomitmen? Komitmen itu pertama harus dipegang oleh aparat penegak hukum. Mengapa? karena mutu kemanusiaan aparat penegak hukum itu diuji ketika 'ia sedang menegakkan hukum'. Dalam hal ini, ketika proses peradilan pidana.
Selain itu, aparat penegak hukum juga seharusnya dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Teladan bahwa dirinya mengatakan 'tidak' terhadap korupsi. Seperti Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Mereka dikenal dan dikagumi oleh masyarakat akan 'integritas' dan 'kesederhanaan' dalam bertugas. Publik rindu akan tokoh-tokoh publik seperti itu.
Menjadi sebuah renungan bahwa manusia-manusia yang menjadi aparat penegak hukum, sesungguhnya harus memahami bahwa ia adalah makhluk-makhluk pilihan. Ya, pilihan diantara banyak manusia lainnya yang ingin menjadi aparat penegak hukum.
Banyak masyarakat yang menyayangkan hal ini terjadi. KPK yang sering dibanggakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi karena sering melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Tetapi, dalam dewasa ini kepercayaan publik menurun. Hal itu juga ada yang mengatakan disebabkan karena revisi UU KPK.
Padahal, jika dicermati secara mendalam tidak ada pelemahan di situ. Hanya saja kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UU sebelumnya, sedikit dibatasi. Misalnya, kewenangan penyadapan, yang pasca revisi UU KPK harus izin melalui 'Dewan Pengawas'. Selain itu, terdapat kewenangan yang sangat krusial diberikan oleh UU KPK yang terbaru, yakni dapat menerbitkan 'Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).