KDRT Berujung Pembunuhan
08 Mei 2024
Kurnia Putri
Mahasiswa Sosiologi Fisip UIN Walisongo Semarang
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 5.526. Jumlah tersebut turun hingga 25,68% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 7.435 kasus. Meski mengalami penurunan, kasus ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut agar tidak terjadi kenaikan angka kasus kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tinggi.
Dilansir dari Komnas Perempuan, pengaturan sanksi di dalam Undang-Undang terdapat pada Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53, di mana sanksi yang cukup meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat (maksimal 10 tahun) dan yang menyebabkan korban meninggal dunia (maksimal 15 tahun), dan termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan (20 tahun).
Pembunuhan adalah puncak dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berita kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pembunuhan telah banyak mengundang perhatian publik karena KDRT umumnya terjadi pada pasangan suami istri. Banyak orang tidak mengaku sebagai pelaku kekerasan atau korban, karena mereka beranggapan itu adalah konflik keluarga yang tidak terkendali seperti yang dialami oleh pelaku kasus mutilasi istrinya di Ciamis yang mengaku bahwa pelaku mendapatkan bisikan gaib pesugihan yang hal tersebut adalah diluar kendalinya. Kasus lainnya terjadi pada pasangan suami istri di Cirebon dimana sebelumnya terjadi adu mulut antara pasangan suami istri tersebut akibat suami kesal karena istrinya sering menolak permintaan pelaku untuk berhubungan intim sehingga pelaku membunuh istrinya dengan menggunakan pisau dapur dan membuang mayatnya ke sungai.
Pada umumnya, KDRT terjadi pada pasangan perempuan. Melihat konsepsi budaya yang menganggap laki-laki sebagai penentu kebijakan dalam rumah tangga. Terkait kekerasan, pemerintah sendiri berupaya menurunkan angka kekerasan dalam rumah tangga dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Permasalahan keluarga bersifat pribadi, sehingga kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak menjangkau pihak luar sehingga tidak ditangani dengan baik karena orang atau pihak tidak mengetahui bahwa kekerasan telah terjadi. Selain faktor kehidupan pribadi, ada faktor lain yang tidak menangani isu kekerasan, yakni masih kuatnya budaya patriarki masyarakat Indonesia.
Lantas menurut kalian bagaimana cara untuk meminimalisir terjadinya kekerasan dalam rumah tangga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H