MELIHAT situasi yang sedang berkembang dan menjadi tren saat-saat ini, karena akibat dari pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, yang memerlukan dan menelan biaya yang sangat-sangat besar, maka terdapat 2 implikasi negatif bagi sebuah bangsa dan negara, termasuk Negara Republik Indonesia, yang menerapkan sistem pemilihan presiden langsung.
Dampak negatif pertama adalah  karena seorang calon presiden memerlukan biaya yang sangat besar, maka sang calon presiden akan mencari sumber dana dari negara lain dengan perjanjian-perjanjian terselubung tertentu.
Seperti yang terjadi di Perancis, dimana mantan Presiden Nicolas Sarkozy meminta bantuan uang untuk kampanye dari Pemimpin  Libya, Mohammed Khadafi. Setelah Khadafi tewas, lalu putra Khadafi meminta uang tersebut dikembalikan untuk rakyat Libya.
Ini salah satu contoh yang terjadi dan terpublikasi. Barangkali masih banyak calon presiden yang berbuat demikian, namun belum ketahuan, karena belum terbongkar saat ini.
Mengapa mereka mencari sumber uang dari luar negeri, tentu ini demi keamanan dari segi hukum, sebab bila mereka mendapatkan uang melalui suap dan korupsi di dalam negeri. Hal demikian akan gampang ketahuan dan berurusan dengan aparat penegak hukum.
Dampak negatif kedua adalah, karena memerlukan biaya besar, maka yang tampil sebagai calon presiden adalah konglomerat yang berlatar belakang pengusaha. Dimana ia sama sekali bukanlah politisi. Ia sama sekali tidak memiliki jiwa, pengetahuan dan pengalaman politik serta tidak mengalami proses politik. Seperti Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Padahal, kita perlu menyadari cara memimpin perusahaan dengan memimpin negara jauh berbeda. Filosofi negara dengan filosofi perusahaan berbeda. Negara bertujuan untuk kesejahteraan rakyat secara luas, sedangkan perusahaan mencari keuntungan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan individu pemiliknya.
Belum lagi, apabila negara bergejolak, diperlukan penyelesaian secara politik, dengan pengalaman politik yang mendalam, bukan penyelesaian dari aspek yang lain.
Oleh sebab itu, segenap bangsa dan rakyat Indonesia dalam Pilpres 2019 ini, seyogyanya berupaya agar yang menjadi calon presiden dan wakil presiden RI adalah seorang politisi. Tentu, partai-partai politiklah yang menyeleksinya. Jangan sebaliknya, Presiden RI yang menjabat jabatan  politis, tapi bukan politisi.
Dalam catatan sejarah, banyak terjadi seorang presiden yang tidak mempunyai jiwa politisi menjadi presiden, lalu menyebabkan perpecahan suatu bangsa dan negara, salah satunya adalah Mikhael  Gorbachev mantan Presiden Uni Soviet, yang membuat Uni Soviet bubar menjadi banyak negara.
Malaysia, 13 Juli 2018