Mohon tunggu...
Kurnia Maulida Farashovy
Kurnia Maulida Farashovy Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya mempunyai hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di balik Sawit: Hak Adat dan Deforestasi di Papua

7 Juni 2024   17:58 Diperbarui: 7 Juni 2024   18:27 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua, sebuah wilayah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, selama bertahun-tahun mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan ketidakadilan. Salah satu isu paling krusial adalah konflik  yang melibatkan masyarakat adat Papua dengan perusahaan perkebunan sawit. Dalam beberapa hari terakhir, media sosial di Indonesia dan dunia diramaikan oleh kampanye "All Eyes on Papua". Gerakan ini menjadi viral setelah sebelumnya muncul seruan "All Eyes on Rafah" yang fokus pada situasi krisis di Gaza, Palestina. Gerakan "All Eyes on Papua" menyoroti perjuangan masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel dan Suku Moi di Sorong yang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman ekspansi perusahaan kelapa sawit. Dukungan untuk Papua ini semakin kuat setelah pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi Mahkamah Agung di Jakarta untuk meminta pembatalan izin perusahaan sawit yang telah merampas hutan adat mereka. Mereka datang dengan mengenakan pakaian adat dan menggelar doa serta ritual adat di depan gedung MA, sebuah tindakan yang penuh makna dan menunjukkan betapa seriusnya perjuangan mereka.

Izin lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Papua untuk perusahaan seperti PT Indo Asiana Lestari telah membuka jalan bagi deforestasi besar-besaran di wilayah yang sangat penting ini. Lahan seluas lebih dari 36.094 hektare, lebih dari setengah luas DKI Jakarta terancam dirusak, mengancam kelestarian hutan adat yang menjadi pusat kehidupan masyarakat Awyu. Tak hanya itu, perusahaan sawit lain juga tengah berusaha mengekspansi bisnis mereka di Boven Digoel, yang dapat mengakibatkan dampak buruk bagi iklim dan lingkungan. Deforestasi tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam kehidupan sosial dan budaya masyarakat adat. Bagi suku Awyu dan suku Moi, hutan bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga bagian integral dari identitas dan warisan budaya mereka. Hutan menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti tempat berburu, berkebun, dan bahan untuk obat-obatan tradisional. Hilangnya hutan berarti hilangnya identitas dan cara hidup yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Saat ini, harapan masyarakat adat Papua terletak di tangan Mahkamah Agung, yang sedang mempertimbangkan gugatan mereka. Hendrikus Woro, perwakilan dari suku Awyu, telah berjuang keras untuk membatalkan izin yang diberikan kepada perusahaan sawit tersebut. Namun, gugatan mereka telah ditolak di dua tingkat peradilan sebelumnya, yakni di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado. Kini, dengan dukungan publik yang semakin besar melalui gerakan "All Eyes on Papua", ada harapan bahwa Mahkamah Agung akan mempertimbangkan kembali keputusan mereka dan memberikan keadilan bagi masyarakat adat. Gerakan "All Eyes on Papua" menunjukkan bahwa solidaritas bisa dibangun melalui media sosial. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk aktivis, selebriti, dan masyarakat umum, telah membantu meningkatkan kesadaran akan isu ini. Namun, seperti yang dikatakan oleh Gispa Ferdinanda, seorang perempuan muda asal Kabupaten Manokwari, Papua Barat, solidaritas ini tidak boleh berhenti pada level media sosial saja. Masyarakat Indonesia perlu mengedukasi diri mereka tentang situasi di Papua dan aktif mendukung perjuangan masyarakat adat. 

Suku Awyu, Suku Moi, dan aktivis adakan aksi di depan Mahkamah Agung, Jakarta, minta perlindungan hutan adat. (Sumber: KOMPAS.com)
Suku Awyu, Suku Moi, dan aktivis adakan aksi di depan Mahkamah Agung, Jakarta, minta perlindungan hutan adat. (Sumber: KOMPAS.com)

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. "Di sisi lain adalah bagaimana masyarakat setempat alamnya juga terus terjaga, jangan sampai tergusur dari pekarangannya sendiri," kata AHY saat ditemui usai melakukan penanaman pohon di Kompleks Perkantoran Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/6/2024). Pemerintah memiliki tugas untuk memajukan daerah yang tertinggal dan melanjutkan pembangunan, tetapi tidak boleh mengesampingkan kepentingan masyarakat yang berhak mendapatkan kepastian untuk tidak tergusur dari tempat tinggalnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa pembangunan harus inklusif dan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal serta kelestarian lingkungan. Untuk mencapai perubahan nyata, gerakan "All Eyes on Papua" harus diiringi dengan tindakan nyata dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat luas. Dukungan tidak hanya datang dalam bentuk cuitan atau unggahan di media sosial, tetapi juga dalam bentuk tekanan kepada pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat.

Staf Khusus Presiden Indonesia, Billy Mambrasar, mengklaim bahwa ia telah memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk meninjau ulang berbagai izin perusahaan di atas tanah Suku Awyu. Namun, klaim ini perlu dibuktikan dengan tindakan nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adat. Pemerintah harus menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak merusak lingkungan dan kehidupan sosial budaya mereka.

Gerakan "All Eyes on Papua" adalah sebuah seruan penting yang mengingatkan kita semua akan tanggung jawab kita dalam melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Ini adalah panggilan untuk solidaritas yang nyata dan berkelanjutan, yang melampaui sekadar dukungan di media sosial. Dengan dukungan yang kuat dan tindakan nyata, kita bisa membantu masyarakat adat Papua mempertahankan hutan mereka dan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun