Mohon tunggu...
Kurnia Ibrahim
Kurnia Ibrahim Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa BKI UIN Raden Mas Said Surakarta

Bermusik, Penyimak Sosial,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dissidente Progressista

12 April 2023   15:26 Diperbarui: 12 April 2023   15:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dissidente Progressista

Banyak dari kita selalu merasa dan mungkin menjadi sebuah ungkapan umum bahwa Hidup adalah sandiwara. Ya, setuju atau tidak nyatanya manusia seakan selalu menjadi lakon dalam segala kondisi yang dihadapinya. Kita adalah pemeran utama bagi “layar lebar” diri kita sendiri. Lalu, manuskrip telah dituliskan berlembar – berlembar oleh tuhan sebagai zat yang maha pencipta. Sehubungan dengan kehidupan yang penuh dengan drama dan sinema sudut pandang kita, penulis menyatakan kecintaan dengan drama visualisasi yang dibuat oleh manusia. 

Film. Gairah yang tak tersampaikan dan sulit di validasi bagi segilintir kelompok masyarakat bahwa dengan mahakarya visual dapat mengubah manusia. Bahkan dunia. Pernahkah kita merasa bahwa sering kali, kita merasakan motivasi positif di dalam diri kita sesaat setelah menyimak film yang kita lihat atau mungkin di awal momen kita sedikit memandang rendah akan film yang akan kita simak namun ternyata tidak dinyana itu adalah film yang membuat jatuh cinta akan film itu sendiri? Terdengar munafik? 

Ya itu mungkin bisa jadi refleksi bahwa sifat alamiah manusia adalah kemunafikan dalam sebuah positivism kehidupan. Silahkan renungkan dan penulis akan kembali pada jalur yang ingin dibahas teruntuk para kawan pembaca.

Seperti yang sudah dijelaskan, penulis ada pada kenikmatan batin kala menyimak suatu film yang dirinya tonton. Semua berawal dari masa lalu ketika penulis atau mungkin kalian, pernah melihat film – film box office di beberapa stasiun TV dan setelahnya kita ceritakan pada teman atau bahkan sanak saudara untuk menggambarkan betapa indahnya film itu untuk disimak. Hal itu menjadi pijakan penulis selama ini untuk tak pernah berhenti dan mati menikmati setiap mahakarya dari para movie maker di seluruh dunia. 

Mulai dari produser, hingga crew bersih – bersih set syuting rasanya ingin sekali mengucapkan selamat dan terima kasih atas mahakarya yang begitu indah, meaningfull, dan totalitas sehingga meciptakan ruang kreativitas dan pemberkatan dalam relung perasaan manusia dan hari ini penulis akan membahas sebuah film yang membuat penulis terkesima dan ingin menceritakannya pada kawan pembaca betapa “indahnya” film ini, seperti kita di masa lalu.

Kita mulai dari sebuah imajinasi, bagaimana keadaan kita bila kala itu kita berusaha sekuat tenaga belajar dan merencanakan banyak langkah untuk mendaftar ke kampus impian kita dengan harapan diterima namun ternyata kita tertolak? Tidak berhenti disitu saja, kita kembali berjuang untuk mendaftarkan diri kita di banyak kampus dengan pernyataan “penting diterima” dan kemudian lagi-lagi kita harus menerima kenyataan pahit bahwa kita tidak diterima di kampus manapun? Bagaimana keadaan kita? Secara psikologis dapat penulis pastikan bahwa dalam skala 8/10 kita berada pada kondisi putus asa dan buruknya kita tidak mendapatkan harapan apapun. Banyak tekanan social dari lingkungan masyarakat bahkan mungkin juga keluarga kita membuat kita semakin buruk dan kehilangan eksistensi diri kita sendiri sebagai salah satu dari ciptaan-Nya. Lalu, seketika terbesit dalam benak kita mengapa kita tidak mendirikan kampus sendiri ketika semua kampus menolak kita? Hal itulah yang dvisualisasikan dalam film yang penulis simak dengan judul “Accepted”.

Accepted merupakan film produksi Shady Acres Entertainment, garapan sutradara Steve Pink dengan actor Justin Long (pemeran utama/B. Gaines), Jonah Hill (Sherman,S.) Maria Thayer (Rory Thayer) dan artis kawakan amerika Lewis Black (Ben Lewis). Film ini dirilis pada tahun 2006 dengan genre komedi. Film ini mengisahkan seperti apa yang penulis utarakan diatas, dimana kondisi Gaines (Justin Long) serta teman – teman SMAnya ditolak di banyak kampus manapun, dan akhirnya Gaines memutuskan untuk mendirikan kampusnya sendiri sebagai lambang “pembangkangan” atas penolakan yang ia terima. 

Bermodalkan ide kreatif serta “cerdik” dari Gaines, ia memutuskan untuk mendirikan kampusnya sendiri hanya sekadar ingin mendapatkan surat tanda diterima sebagai mahasiswa agar orang tua Gaines merasa bangga padanya. Nama institusi kampus yang ia dirikan pun cukup mengesankan namun menjadi lawak ketika hal itu diakronimkan. South Harmon Institute of Technology alias S.H.I.T (kata umpatan dalam Bahasa inggris)

Gaines bersama temannya, Sherman (Jonah Hill) dan satu temannya berkumpul di kamar milik Sherman untuk merencanakan sesuatu hal yang gila dalam kehidupan normal di masyarakat. Berawal dari surat tanda terima, lalu beranjak pada website dan puncaknya mereka memiliki gedung kampus dan mahasiswa pendaftar yang benar – benar sungguhan. Kesan pertama penulis, imajinasi dalam film ini benar – benar gila untuk dipahami di kehidupan social kita. 

Mendirikan kampus dengan motif “pembalasan dendam” akan penolakan yang Gaines terima dari banyak kampus? Sangat tidak filosofis dan menggelikan. Namun, selama penulis menyimak film tersebut dari detik demi detik, hingga menit demi menit, semuanya menjadi sebuah imajinasi yang ternyata punya unsur kebermaknaan begitu fundamental, terutama akan sistem pendidikan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun